Rabu, 01 Oktober 2014

Perempuan Keluar Rumah
Tanpa Mahrom



Pada dasarnya, hukum asal dan yang terbaik bagi perempuan adalah wajib berdiam diri dirumah, sebagaimana difirmankan oleh Alloh,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ  الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً

  
Dan hendaklah kamu tetap tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu. Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS.Al Ahzab: 33).

Namun ini  bukan berarti mereka tidak boleh keluar rumah sama sekali. Jika terdiamnya perempuan di dalam rumah mendatangkan kesulitan atau mudharat bagi dirinya sendiri, maka hukum asal berdiam diri di rumah berubah. Perempuan jadi mubah keluar rumah, sunnah atau mustajb dan bisa jadi pula wajib.

Yang perlu diperhatikan, keluarnya perempuan dari rumahnya, baik bersama orang tua ataupun suaminya, ada dua. Pertama, yang dikategorikan sebagai safar.

Safar adalah keadaan dimana seseorang keluar dari rumah untuk suatu keperluan dan untuk itu ia menempuh suatu jarak dan waktu tertentu. Para ulama berbeda pendapat mengenai kepastian jarak dan waktu ini. Hanya, menurut kebiasaan orang-orang Arab zaman dahulu, tidaklah disebut safar jika seseorang melakukan perjalanan sejarak masafatul 'adwa. Ukuran mafatul 'adwa adalah seeorang keluar rumah, menyelesaikan urusannya, lalu kembali pulang dalam waktu kurang dari satu hari.

Larangan perempuan bersafar disebut dalam hadist dengan catatan jika perjalannanya memerlukan waktu sehari semalam, dua malam, tiga malam dan satu hari.

Imam Muslim meriwayatkan, "Perempuan tidak boleh bersafar kecuali bersama mahrom."

Para ulama menyatakan, pembatasan dari Rosulullah tidak dimaksudkan untuk membatasi lama safar. Prinsipnya, perempuan tidak boleh bersafar, kecuali bersama mahrom. Telah diriwayatkan adanya ijmak mengenai haramnya perempuan bersafar tanpa mahrom ini, kecuali safar untuk tujuan haji dan umrah, safar dari negeri kafir, dan safar dalam rangka lari dari tahanan/tawanan musuh.

Lebih detailnya lagi, para ulama mengklasifikasikan safar perempuan tanpa mahrom menjadi tiga :

  • Safar dari negeri kufur, ini hukumnya wajib meskipun tanpa mahrom. Ibnu al-Mulaqqin dalam al-I'lam bifawaidi 'Umdatil Ahkam menyatakan, "Safar hijrah dari darul harbi ke darul Islam, para ulama sepakat akan kewajibannya, meskipun tidak ada mahrom yang menyertainya."
  • Safar dalam rangka haji wajib. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang mensyaratkan mahrom dan ada yang tidak mensyaratkannya. Pendapat lebih kuat adalah tidak disyaratkan adanya mahrom. Di antara dalilnya adalah bahwa Ibnu Umar pernah pergi haji bersama beberapa orang perempuan dari para tetangganya. Juga Umar bin Khathab mengizinkan sebagian istri Nabi untuk menunaikan haji dan beliau mengutus Ustman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf untuk menjaga mereka.
  • Safar untuk sesuatu yang tidak wajib, seperti mengunjungi saudara, dan lain sebagainya. Ini dibagi dua, yaitu safar pendek dan safar yang jauh. Untuk safar yang pendek, para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehannya. Para ulama madzab Hanafi membolehkannya, sedangkan jumhur ulama tidak membolehkannya. Mereka juga berbeda pendapat mengenai batasan safar pendek. Menurut madzab Hanafi, jika kurang dari tiga hari perjalanan. Untuk safar yang jauh, boleh dengan syarat aman. Ini adalah pendapat para ulama madzab Syafi'i dan Maliki, juga Ibnu Taymiyah. Ibnu Hajar al-Asqalani menulis, "Larangan safar perempuan tanpa mahrom terkait dengan waktu. Sekiranya seorang perempuan menempuh perjalanan satu jam dalam satu waktu hari, maka itu terlarang, berbeda dengan musafir yang sekiranya menempuh perjalanan setengah hari dalam dua hari, maka ia boleh mengqashar sholat."
Jika seorang perempuan keluar rumah dan jarak tempuhnya kurang dari masafatul 'adwa, maka ia tidak dianggap bersafar. Asalkan ia sudah mendapatkan izin dari suaminya atau orang tuanya. Jika ia tidak / belum bersuami dan ia menjaga adab-adab keluar rumah, maka itu diperbolehkan. Ukuran masafatul 'adwa adalah radius 20km dari rumah. Kesimpulan 20km ini diukur dari jarak yang bisa ditempuh oleh seseorang dengan berjalan kaki dalam sehari dikurangi waktu yang dihabiskannya untuk memenuhi kebutuhannya adalah 40km, maka setengahnya (pulang-pergi) adalah 20km.

Dari sini, memenuhi kebutuhan  sehari-hari, mengantar anak ke sekolah, dan mengikuti majelis ilmu yang jaraknya kurang dari 20km adalah boleh. Sekali lagi, seizin suami. Sedangkan untuk mengunjungi orang tua yang jaraknya sekitar 25km, lebih hati-hatinya harus disertai mahrom.

Allahu a'lam bis showwab



[Sumber : majalah ar-risalah edisi 156]

Tidak ada komentar: