Jumat, 19 September 2014

BACALAH SAUDARIKU ! MAKA KAU AKAN MENGERTI



Bacalah tentang dirimu, maka kau akan mengerti bahwa sesungguhnya dirimu adalah indah. Alloh telah menciptakanmu dengan begitu teratur dan sempurna, maka berbanggalah menjadi muslimah dengan menjadi taat kepadaNya.

Dia tetap memeliharamu bahkan saat kau tidak mencintainya, Dia mengasihimu dan tetap memberikan kepadamu jatah rizki, bahkan disaat kau mengkhianatinya, dan Diapun akhirnya memaafkan kesalahanmu saat kau bertaubat, walaupun selanjutnya kau mengulang kesalahan yang sama. Lagi dan lagi. Memang, menebus kecintaanNya adalah sangat mustahil dilakukan, maka satu-satunya cara untuk membalasnya adalah menjadi hamba yang baik untukNya. Walaupun itu memang sama sekali tidak menguntungkan atau merugikanNya, namun percayalah kesetiaan terhadap aturan dan jalanNya, akan selalu membawamu kepada kemuliaan seorang manusia.

Menjadi mulia ternyata lebih mendamaikan hati bahkan daripada sekedar mendapatkan gelar sebagai orang 'kaya'. Llau mengapa harus kau rendahkan dirimu sendiri dengan menyelisihi Alloh Sang Maha Penguasa, hanya demi memenuhi nafsu di dalam rongga dadamu ?

Bacalah kewajibanmu, maka kau akan mengerti bahwa seorang wanita sangatlah dimuliakan Alloh lewat sebuah hal yang namanya 'melayani'. Dengan melayani keluarga suami, maka kau telah melekatkan sebuah keajaiban pada dirinya sendiri sebagai seorang wanita.

Kau yang dengan segala keringanan mengesampingkan kesenanganmu sendiri demi kebahagiaan yang lain. Simpanan pahala terbaik apalagi di dunia ini yang lebih sempurna selain seorang istri yang begitu sangat sholihah dan mencintai keluarganya diatas kepentingan dan kelegaan hatinya sendiri. Suami adalah kunci menuju surga, kehidupan terabadi ditempat yang paling indah. Subhanallah.. Semoga akhirnya kehidupan terbaik disana bisa di peroleh.

Bacalah tentang kekuranganmu, maka kau akan mengerti cara tepat menjadikan dirimu hebat, tanpa harus menjadi dipaksakan untuk sempurna. Kesadaran tentang kekurangan itu akan menjadikan kau pribadi yang tidak sombong dihadapan Yang Maha segala apalagi dihadapan manusia.

Saat kau mengenal kekuranganmu, maka kau akan mengerti banyak kesempatan bagimu untuk melembutkan hati dan mengasah kasih sayangmu untuk selanjutnya kau sebarkan keindahan itu kepada seluruh dunia.

Bacalah tentang masalalumu, maka kau akan mengerti betapa Alloh sangat Maha Penyayang dan Mengasihimu. Alloh menuntunmu kepada jalan yang terbaik walaupun kadang kau berkhianat kepadaNya.

Kasih sayangNya tiada batas saudariku, walau sering kali kita membatasi diri denganNya lewat dosa-dosa yang kau perbuat. Maka dari itu jangan tunda sujudmu. Mohonkanlah ampunan atas jalan salah yang telah kau ukir dalam kebanggan berbuat dosa.

Bacalah setiap lembar hidupmu, maka kau akan mengerti betapa Alloh mengemban kepadamu tugas yang berat dan indah, namun tidak melebihi batas kemampuanmu.

Kau mampu saudariku, walaupun kau suka berputus asa dengan berkata 'aku tidak mampu'. Kau adalah pemenang, walau sesekali terpuruk menjadi pecundang. Kau adalah Anugrah, maka jangan anggap dirimu sebagai sampah. Kau indah, bahkan terlalu indah untuk sekedar kau caci maki. Kau adalah hamba yang taat, walau sesekali kau salah jalan, namun lihatlah Sang Maha Penolong masih tersenyum dalam keteledoran yang kau lakukan.

Yakinlah Dia akan selalu memaafkanmu, selama kau ikhlas meminta maaf. Lalu, atas alasan apa lagi kau harus menunda tobatmu, apakah kau perlu harus menyaksikan terlebih dahulu kemurkaan Alloh atasmu ??
Ayolah Saudariku.. perbaikilah semuanya mulai dari sekarang.. Sebelum semuanya terlambat, sebelum penyesalan itu datang mendahului sebelum kau bertobat..

Wallahu a'lam bis showab


JALAN WANITA MENUJU SURGA




Saya pernah mendengar perkataan dari salah satu orang tua di desa, Katanya, "Cinta suami berawal dari lidah dan perut". Ketelatenan seorang istri dalam memberikan hidangan yang memanjakan lidah bagi suaminya , ternyata memang tidak hanya berhasil memikat kasih sayang dan perhatiannya, namun juga terbukti berhasil menghidangkan kebahagiaan bagi rumah tangga kita.
Betapa tidak, suami mana yang tidak akan damai melihat sang istri begitu serius merawat dan melayaninya, serta peduli pada hal terinci termasuk pada jam makannya. Bagi suami yang sangat pintar menghargai, hal ini membuat kekurangan wanita yang menjadi istrinya seolah termaklumi oleh perbuatannya merawat dan menjaga cita rasa lidah sang suami. Dan tentunya bagi si istri, kebahagiaan sudah pasti dituainya karena kesenangan dan ridho suami memanglah menjadi tujuan akhir dari perjuangan wanita muslimah.

Maka, betapa disayangkan jika masih ada beberapa orang yang berfikir bahwa dapur bukanlah tempat modern dalam 'berkarir'. Bahkan sebagian dari mereka dengan ikhlasnya berbagi pahala dengan para pembantu bahkan menyerahkan semuanya keapda pembantu. Beribu alasan kesibukkan dan ketidakmampuan diberikannya, termasuk alasan bahwa zaman sekarang pekerjaan rumah hanya menghambat perkembangan kreatifitas wanita.

Hanya orang-orang yang belum mengerti kedamaian sebuah melayani, yang akan berfikiran bahwa pekerjaan dapur hanya merendahkan wanita. "Di dapur hanya akan membuat masa depan wanita tamat",begitulah pendapat kebanyakan mereka. Namun hal ini berbeda dengan pemikiran para wanita yang menjunjung tinggi sebuah keikhlasan. Melayani bukan berarti memasrahkan diri menjadi pelayan. Melayani berarti meningkatkan derajat diri, dari yang semula hanya berfikir tentang diri sendiri, dengan usaha yang keras dia tanggalkan ego untuk membahagiakan orang lain. Masya Alloh.. ini bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, tapi juga tidak mustahil untuk dijalankan. Wanita ajaib seperti apa yang dapat berbuat seperti ini, kecuali banyak kesibukkan diluar yang menyita waktu mereka, namun seorang wanita sholehah tetap akan memfokuskan bahwa keluarga adalah nomor satu, dan karena memang itulah  tanggung jawab sesungguhnya. Baginya, dari Alloh Sang Maha Penguasa. Pemikirannya akan dengan sadar menggiringnya untuk selalu menyempatkan waktu menyiapkan apa yang dia bisa hidangkan untuk suami tercinta. Selanjutnya, pahala baginyapun akan mengalir dengan deras dan tiket untuk masuk ke dalam surga Alloh, insya Alloh akan mudah di dalam genggaman. 

Memang masih banyak cara untuk membahagiakan suami kita selain dengan memaksakan makanan kesenangan beliau. Namun, adalah cara yang lebih indah untuk memenuhi selera makan mereka selain dengan memenuhinya dengan tangan kita sendiri. Pastilah sebuah kebanggaan bagi kita dapat merawat suami sebagian dari amanah yang kita lakukan dengan tangan kita sendiri, dan menjadikan kita pribadi yang dapat dipercaya dalam menjaga amanah.

Maka jangan pernah menyepelekan titipan Alloh, dan jangan menunggu sampai titipan itu diambil Alloh, barulah kita menyadari kekeliruan kita. Maka sebaiknya kita mulai menumbuhkan rasa malu, saat mengetahui bahwa sang suami cenderung menyukai makanan diluar dan atau buatan orang lain ketimbang makanan kita istrinya sendiri. Memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk belajar, karena sungguh Alloh menyediakan surga bagi hambaNya yang bersungguh-sungguh dalam belajar.

Siapapun engkau wahai saudaraku, apapun kedudukan dan pekerjaan serta kesibukkanmu saat ini, jangan pernah menganggap remeh hasil karya yang terolah dengan tangan kasih sayangmu dari sebuah ruangan kecil bernama 'DAPUR'. Kebahagiaan suami, perhatian dan kasih sayangnya dapat kau ikat dari sana. Apabila memang benar anti mempunyai seorang pembantu, apakah rela jika suamimu menyukai masakan yang dia masak ? bukan hasil dari karya tanganmu sendiri ? relakah kau saudariku ? betapa ribu lipat pahala kau sia-siakan dengan kesibukkanmu. Tentu tidak bukan ? So, mengapa tidak buru-buru memulainya sekarang ?
Selamat berburu pahala Saudariku.. ^-^


[Catatan hamba Alloh yang penuh dosa]

Menambah Cinta dengan Memberi Hadiah

Berkali harus kita fahami bahwa keinginan dihargai merupakan kebutuhan jiwa yang mendasar bagi kita sebagai manusia. Jadi sangat bisa di fahami jika perasaan dicampakkan karena dianggap tidak berharga sangatlah menyakitkan. Banyak hal-hal buruk yang tidak kita inginkan muncul dari perasaan yang terluka ini. Ketegangan, keretakkan, perceraian, bahkan hingga bunuh diri dan pembunuhan.

Tentu saja kita tidak ingin ada anggota keluarga yang merasa tidak dihargai, karena hal itu bisa menjadi benalu bagi ketentraman rumah tangga. Bukankah kita berumah tangga dengan tekad kuat mewujudkan keluarga sakinah, mawadah dan warohmah ? Hingga meski terlihat baik-baik saja di permukaan, perasaan terluka adalah bom waktu yang menunggu pemicunya. Untuk kemudian hancur berkeping-keping dan sulit disatukab kembali.

Salah satu bentuk penghargaan itu adalah pemberian hadiah. Sebuah sunnah Rosulullah saw yang agung dalam mendatangkan kepedulian, kedekatan, kasih sayang dan penghormatan, sebab ia adalah salah satu bahasa cinta. Rosulullah saw memberikan perintah untuk saling menghadiahi guna melembutkan hati dan menumbuhkan rasa saling mencintai, menghilangkan dengki, kemarahan, dan permusuhan. Karena tabiat jiwa kita memang senang terhadap orang yang berbuat baik kepadanya. Dan hadiah datang membawa pesan perdamaian, rasa cinta dan penghargaan.

Dalam konteks berkeluarga, ia memperbarui ruh kehidupan rumah tangga dan menghilangkan perselisihan. Seseorang isteri lebih mudah tersentuh oleh hadiah yang diberikan suaminya daripada hadiah dari orang lain, pun demikian pula sebaliknya. Sebab hadiah, meski tampak sepele dan tidak berarti, efektif melakukan apa yang tidak dapat dilakukan kata-kata verbal, termasuk permintaan maaf. Ia mampu menghilangkan kabut hati dan mendamaikannya.

Jika kita lihat kehidupan para ulama salaf, ternyata ia sarat dengan pertunjukkan saling memberi hadiah di antara mereka, sekecil apapun bentuknya. Terkadang, hadiah itu hanya berupa kurma yang belum matang, setangkai bunga mawar, minyak wangi, atau bahkan sup berkuah. Hal ini tentu saja menjadi inspirasi bagi kita untuk memulai kebiasaan baik ini, tanpa perlu mengeluhkan minimnya biaya, atau sempitnya kesempatan.

Karena itu, dalam hal saling menghadiahi ini, yang harus kita lihat adalah nilai maknawinya, bukan nilai materinya. Ia harus dipandang sebagai pemberian yang tulus, ungkapan dari kedekatan, persahabatan dan kecintaan. Dengan begitu, hadiah tersebut apapun bentuknya, betapapun kecilnya, dan berapapun nilainya, akan selalu memiliki makna yang dalam. Ia, Insya Alloh, bisa membangkitkan keridhaan.

Dan jika terjadi di antara suami isteri, saling memberi hadiah bisa sangat mengagumkan efeknya. Ia dapat menambah rasa kecintaan dan kedekatan hati antara keduanya, memperbarui ruh kehidupan rumah tangga dan menghilangkan perselisihan yang meruncing bila kedua pasangan tidak menyadari apa yang dapat menghilangkannya,. Karena bahkan, sebuah kecupan dan belaian pun bisa menjadi hadiah indah di saat yang tepat.

Jika demikian halnya, alangkah indahnya jika saling memberi hadiah menjadi kebiasaan, terutama di antara anggota keluarga. Karena merekalah yang lebih layak mendapatkannya. Dan dalam jangka panjang, ia akan terakumulasi dan memberikan efek yang melegakan. Kecintaan, kasih sayang dan kedekatan emosional akan semakin tinggi diantara anggota keluarga kita. Juga bertambahnya barakah jika iringi dengan mendoakan si pemberi. Dalam sebuah riwayat, ibunda 'Aisyah ra berkata bahwa Rosulullah menerima hadiah dan mendoakan pahala bagi (pemberi) nya.

Tapi ingat, pemberian hadiah ini substansinya adalah mendekatkan hati. Ia akan kehilangan tujuan mulianya itu jika pemberiannya justru menyakitkan hati. Bisa karena hadiahnya adalah barang yang haram, membuat penerimanya marah karena barangnya tidak pantas diterima, menyimpan tujuan-tujuan busuk, atau cara pemberian yang merendahkan karena menyiratkan kesombongan. Hadiah-hadiah yang berhenti sebatas benda dan kehilangan nilai sebagai wasilah penghubung hati. Di zaman seperti ini, bahkan ada hadiah yang pantas ditolak karena tercurigai sebagai sarana suap untuk meloloskan sebuah proyek. Naudzu billahi min dzalik..

Agar tidak terjadi semua itu, kita perlu berkomunikasi dengan anggota keluarga secara sehat untuk mengetahui hal-hal apa yang mereka inginkan dan disukainya, agar tidak salah memberi hadiah. Juga menjaga keceriaan wajah dan ketulusan hati saat memberikannya agar mendatangkan cinta dan barakah, sebagaimana arahan Rasulullah di atas. 

Siapa yang tidak menginginkan keluarganya dipenuhi barakah ? Ada hadiah, ada wajah-wajah cerah, ada apresiasi dan ucapan jazakumullah, juga doa-doa yang melantun indah. Alangkah inginnya kita memiliki semua itu. 

[sumber : majalah Ar-risalah edisi 128]

Senin, 15 September 2014

AKU MALU DAN BELUM SIAP BERJILBAB




Saudariku yang dirohmati Alloh,

Jilbab adalah pakaian taqwa yang diwajibkan Alloh atas kita, para muslimah. Perintah ini seperti ditulis di dalam QS. Al Ahzab : 59 yang artinya sebagai berikut : "Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isteri orang mu'min, supaya mereka menutup kepala dan badan mereka dengan jilbabnya supaya mereka tidak di ganggu (disakiti) oleh laki-laki yang jahat. Alloh Maha Pengampun lagi Maha Pengasih."

Selain itu juga tertulis dalam QS. An Nuur : 31 yang artinya, "Katakanlah kepada wanita yang beriman : "Hendaklah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan  hendakklah mereka menutupkan kain tudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak punya keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.."

Perintah Alloh diatas juga ditegaskan lagi oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadist beliau yang lain, yang artinya : "Wahai Asma ! Sesungguhnya seorang perempuan apabila sudah cukup umur, tidak boleh dilihat seluruh anggota tubuhnya, kecuali ini dan ini, sambil Rosulullah menunjuk muka dan kedua telapak tangannya."

Saudariku yang dirohmati Alloh,

Perintah mengenakan kerudung dan jilbab ini diturunkan demi memuliakan kita para wanita, dan bukan penjara yang menyempitkan dunia kita, namun justru menjadi pembatas yang  menjadikan kita baik dan membuat Alloh ridho kepada kita. Walaupun hanya lembaran kain, namun dengan pakaian muslimah yang kita kenakan itu, seakan berbicara pada dunia bahwa kita dalah seseorang yang  mempunyai jati diri yang jelas dan mempresentasikan lekatnya kebaikan atas diri kita.

Dan kini lihatlah dirimu dicermin saudariku. Kau telah menjelma menjadi dirimu yang cantik.Namun sayang, gemerlap dunia terkadang telah menjauhkan sebagian dari kita, dengan sebuah pemahaman tentang damainya aturan Alloh, bahkan ada yang tidak tanggung-tanggung, malah berbalik mencelanya. Mereka berdandan ayu, dengan busana yang aduhai dan mereka mengumbar kecantikan dan kemolekan tubuhnya dihadapan para laki-laki jalang. Lihatlah bahwa mereka sangat cantik, dan terlihat sangat anggun. Namun sayang, Alloh sedang murka terhadap mereka.Namun sayang, Alloh tidak ridho dengan ,mereka. Dan adakah keridhoan yang lebih baik dari pada keridhoanNya atas diri kita ?

Saudariku tercinta,

Mengapa kau dahulukan ridho manusia diatas keridhoan Alloh ? Bukankah kau telah bersumpah bahwa hanya kepada Dia kau menyembah ? Bukankah hanya dia yang memberimu nafas, memberimu makan, merawatmu dan selalu ada dikala kau sedih, dan menerimamu dalam keadaan apa adanya dirimu ? Lalu mengapa masih kau sangkal dengan sejuta alasan demi menegakkan kebandelanmu atas sebuah penrintahnya ?
Jika kau berkata belum mampu, kata-kata itu sudah basi saudariku ! Percayalah bahwa kau mampu. Hanya hawa nafsumu yang belum bisa menerima. Jika kau mengatakan kembali, 'aku belum mampu', maka lihatlah ternyata kau belum bisa menjadikan dirimu sahabat yang baik bagi dirimu sendiri. Apalagi yang bisa kau lakukan jika untuk sebuah kebaikan saja kau sudah memangkasnya, dengan tanganmu, bahkan dengan mulutmu sendiri, bahkan kau sebelum kau mencoba melakukannya. Bukankah kebaikan itu adalah untuk dirimu sendiri ? Dan bukankah kau akan senang dan bangga atas dirimu yang baik ? Maka cobalah.. dan bersegeralah saudariku tercinta.. Sayangilah dirimu dengan tidak menjadi sasaran objek dari pandangan mata laki-laki jalang yang merendahkanmu.

Jika kau berkata, 'aku harus tau diri terhadap siapa aku ini'. Maka dari itu aku tidaj pantas untuk berjilbab dan berkerudung'.

Saudariku yang dirohmati Alloh,

Bahkan tanpa harus kau sebutkan dengan gamblang kepada makhluq lain, hatimu telah lebih dari tahu bahwa mungkin kau telah berbuat kesalahan dimasa lalu. Atas tanpa sengaja khilafmu telah menorehkan aib yang sangat untuk dirimu sendiri. Namun, sampai kapan kau akan menghukum diri dan melabeli dirimu sendiri dengan sebuah kerendahan. Akhirnya hal itu menghindarkanmu dari melakukan sebuah kebaikan. Dan kaupun menanggalkan pakaian taqwa.

Jika kau merasa malu atas apapun adanya dirimu sekarang, sampai kau menanggalkan pakaian taqwamu, maka malulah atas yang telah kau perbuat ini. Karena sesungguhnya kau telah menceburkan dirimu dalam kejelekkan yang semakin dalam.

Jika kau berkata bahwa kau malu kepada Alloh atas semua kesalahanmu, lihatlah sekarang bukankah kau telah berbuat kesalahan lagi dan lagi dengan meninggalkan perintahNya lagi sekarang. Tolong seriuslah dengan pernyataan tentang rasa malumu, dan seriuslah tentang keinginanmu mengakhiri kejelekkanmu.

Saudariku yang baik,

Kau boleh menghakimi apapun tentang masalalumu, tapi masa depanmu adalah lebih berhak untuk kau nilai baik. Siapa lagi yang akan menilai baik, kalau tidak diawali dari diri sendiri ? Maka baikanlah dirimu dalam batasan alarm peringatan yang dibuat oleh baju taqwamu. Jilbab dan kerudungmu. Atau jika ternyata kau tetap mengurungkan niatmu dalam melakukan kebaikan itu, kroscek kembali tentang taqwamu. Jangan-jangan perkataanmu hanya semacam alasan saja yang sebenarnya membenarkan hawa nafsumu ?

Saudariku, sekali lagi, kau mengaku tahu tentang ukuran kebaikanmu, sehingga kau memilih menunda menutup auratmu, karena perasaan malu. Tapi bukankah Alloh lebih tahu tentang cara membaikkan diri kita. Jangan hiraukan perkataan manusia yang dengki mencelamu, saat kau mulai mengenakannya.

Rendahnya mereka karena terlalu sibuk mengurusi aibmu sampai-sampai mereka melupakan kekurangan mereka sendiri, yang semakin banyak tentunya. Tetap tersenyumlah sebagai cermin kedamaian hatimu. Maka mereka akan malu karenanya. Malu, karena kau telah dengan cerdas mendidik dirimu agar menjadi lebih baik sekarang, sedangkan mereka dengan sepaket kata-kata kotor tetap saja menjadi level yang sama, bahkan telah terjerumus pada kejelekkan yang lebih dalam.

Memang ada sebagian saudari muslimah kita diluar sana yang tetap melenggang lancar dengab maksiat mereka, walaupun mereka telah menggunakan baju taqwa. Namun bukan berarti kita bisa mengghibah saudari kita sendiri, atau malah menjadikan mereka sasaran alasan untuk menjadikan diri kita benar dengan alasan untuk tetap menunda memakai pakaian taqwa. Apakah kita telah mendoakan mereka terlebih dahulu sebelum kita menghujatnya ?

Lihatlah, mereka juga dalam proses belajar seperti halnya kita. Mereka adalah manusia biasa yang butuh proses dan perlu diingatkan karena tak luput dari kesalahan. Maka ingatlah akan hal itu, dan bersabarlah atas semuanya.

Banyak tuntutan di luaran yang ditujukan kepada para muslimah bawa dengan busana taqwa yang mereka kenakan, maka mereka tak boleh lagi menjadi manusia, melainkan harus menjadi malaikat yang tidak melakukan kekhilafan melainkan hanya patuh sepenuhnya kepada Alloh. Melakukan kesalahan memanglah bukan sebuah kebenaran, namun manusia mana yang dapat lepas dari sebuah kesalahan ? Bukankah itu sesuatu yang tidak mungkin ? Manusia tetap manusia, bukan masalah seberapa besar dia berbuat kesalahan namun lihat dan hargailah cara dia bangkit dan memperbaiki kesalahan itu.

Saudariku yang dirohmati Alloh, 
Lihatlah.. kau begitu cantik, kau sangat berbakat, dan siapapun dirimu, kau adalah anak,istri,ibu yang baik dan hamba Alloh yang taat. Tak inginkah kau menjadi seperti itu ? 

Maka selagi nafasmu masih ada, jangan kau berniat menundanya. Karena saat nafasmu telah berakhir di krongkongan, tiada lain yang akan kau maki kecuali kebodohan dan kealfaan dirimu sendiri.Maka sayangilah dirimu sebelum kau menyayangi manusia yang lain. Kenakanlah jilbab dan kerudungmu karena Alloh, dan mari kita bersama-sama memperbaiki diri.

Dan akhirnya..

Ketahuilah saudariku, mengenakan pakaian taqwa benar-benar tak ada hubungannya dengan rasa malu ataupun perasaan apapun yang kau punya. Namun, adalah tentang kewajiban, saat kau menyatakan sumpahmu lewat syahadat untuk menjadi seorang muslimah. Kau berjanji dengan janji teragung, terdalam dan tersuci untuk bersedia dengan sadar dan ikhlas hati untuk melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua larangan. Hal ini juga termasuk janji setia kepada baginda Rosulullah SAW. Dan janji itu terealisasi dalam kehidupan berupa perkataan dan terwujud dalam perbuatan. Dan sebagai seorang muslimah kita diperintahkan Alloh untuk menutup aurat dan memakai pakaian taqwa. Maka jangan pernah mengadakan tawaran atas perintah Alloh, jika kau memang benar-benar mencintaiNya.


Wallahu a'lam bis showab




Sabtu, 13 September 2014

Hakikat Seorang Muslimah


Dimanakah muslimah diperkenankan berkiprah ? Karena ada yang merasa bahwa Islam rancu dan meragukan dalam mengatur kiprah wanita. Sebagian 'ulama menganggap bahwa wanita haram keluar dari pintu rumahnya kecuali karena ada kepentingan yang darurat atau karena kebutuhan yang sampai pada puncak keterdesakkan.

"...Dan hendaklah kalian tetap tinggal di rumah kalian.." [Al Ahzab : 33] 

Ayat ini turun tentang istri-istri Rasulullah.Tetapi kaidah ushul fiqh mengatakan, hukum diambil dari keumuman lafadz, bukan kekhususan sebab. Jadi apakah tetap dirumah itu wajib untuk semua wanita mukminat ?
Syaikh Yusuf Al Qaradhawy dalam Fatawi Mu'ashirah-nya menggaris bawahi bahwa kaidah, hukum diambil dari keumuman lafadz dan bukan kekhususan sebab tidak berlaku disini. Mengapa demikian ? Karena lafadznya bukan lafadz umum. Ia adalah lafadz khusus. Khusus untuk istri Nabi yang tidak bisa diqiyaskan kepada selain mereka karena ayat sebelumnya berbunyi :

"Hai istri-istri Nabi, kalian tidaklah seperti wanita-wanita lain.." [Al Ahzab : 32]

Sudah dimaklumi, kata beliau, bahwa ayat ini ditujukan kepada istri-istri Nabi secara khusus sebagaimana ditunjukkan oleh rangkaian ayatnya. Dan istri-istri Nabi memiliki hukum-hukum yang dikhususkan Allah pada mereka, dan tidak pada selainnya. Misalnya, mereka mendapatkan adzab berlipat ganda bila berbuat keji, tetapi juga mendapatkan pahala berlipat ganda jika berbuat kebajikan, dan khusus bagi mereka, haram untuk dinikahi orang lain setelah suami mereka (Rasulullah) meninggal dunia.

Saya ingin menegaskan sekali lagi, bahwa bagaimanapun juga, wanita bukan mahkluk dalam pingitan. Risalah ini turun untuk meluruskan dua kutub kekejian menyikapi wanita. Menampilkan wanita sebagai sosok yang bisa dinikmati oleh pandangan syahwati para lelaki di manapun dan kapanpun adalah kedzaliman terhadap kami (kaum hawa). Sebagaimana menelikung mereka di sudut ruangan yang sempit, tidak mengijinkannya keluar dan juga berpartisipasi dalam kehidupan publik sedikitpun, itu juga kedzaliman pada sisi lain.

Adalah cerdas berkat karunia Alloh, ketika Syaikh Yusuf Al Qaradlawy menampilkan ayat berikut ini untuk menepis klaim atas nama syari'at dan agama dari orang-orang yang memenjara dan membelenggu para wanita ;

"Dan terhadap para wanita yang mengerjakan perbuatan keji diantara kalian, hendaklah ada empat orang saksi di antara kalian. Kemudian apabila mereka telah memberi kesaksian, maka kurunglah wanita-wanita itu dalam rumah mereka hingga mereka menemui ajalnya, atau sampai Alloh memberi jalan lain kepada mereka [An Nisa : 15]

Sungguh, di antara tahapan nash yang turun tentang hukuman bagi perbuatan keji, zina, dan buruk adalah ayat ini. Ia turun menetapkan kurungan atas wanita sebagai hukuman atas perbuatan itu. Jadi, kurungan adalah hukuman, bahkan hukuman atas dosa yang besar dan keji, bukan perlakuan wajar keseharian. Ia bukan perlakuan yang layak diterima hamba-hamba Alloh yang mulia dan dimuliakan.

Lalu bagaimana pendapat saya pribadi, tentang bagaimana hakikat seorang wanita ?
Merujuk dari surat Al Ahzab : 32 bahwa 'kurungan wanita di dalam rumah' itu memang benar diperuntukkan khusus untuk para istri-istri Nabi zaman dahulu. Sungguh amazing para istri-istri Nabi itu, hingga Alloh menurunkan firman sedemikian rupa untuk mereka. Bukankah itu sungguh hal yang spesial wahai saudaraku ? Dan kita sebagai kaum hawa, tentu iri dengan hal itu. Untuk itu, kita perlu mencontoh para istri-istri Nabi saudaraku. Saya pernah mendengar kata-kata yang indah, bahwa 'sebaik-baik hijab wanita adalah di dalam rumah'. Subhanallah.. sungguh indah bukan ? Betapa kita akan terjaga apabila kita berdiam diri di dalam rumah seperti apa yang di lakukan para istri-istri Rosulullah. Dan hal yang perlu kalian ketahui adalah, setinggi-tinggi pendidikan kita (para wanita), setinggi-tinggi jabatan kita di dalam pekerjaan, ujung-ujungnya kita juga akan menjadi seorang ibu rumah tangga. Dan kesimpulan dari pada pembahasan kita kali ini, hakikat seorang muslimah adalah 'DI DALAM RUMAH'. Tugas kita adalah melayani suami tercinta, mendidik anak-anak, dan mengurus rumah. Benar begitu bukan ? ;)

wallahu a'lam bis showab


[coretan hamba Alloh yang penuh dosa]

Jumat, 12 September 2014

 JILBOOBS MENUAI KONTROVERSI



Kali ini saya tertarik membahas fenomena yang cukup populer di kalangan anak muda zaman sekarang. Sebagai muslimah sejati kita dianjurkan untuk menutup aurat. Dengan menggunakan pakaian yang syar’i dan menggunakan jilbab itulah cara yang tepat untuk menutup aurat kita. Tapi, dikalangan masyarakat kita sekarang ini banyak para kaum hawa yang salah dalam melaksanakan kewajiban menutup aurat ini. Kini, kebanyakan mereka bukan berjilbab seperti apa yang telah dianjurkan, melainkan berjilboob. Seperti apa sih berjilboob itu?

Berjilboob yakni menutup aurat hanya karena mengikuti tren semata. Niatnya belum sejalan dengan apa yang telah dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sama halnya dengan kaum muslimin lainnya, mereka juga menggunakan jilbab. Tapi bedanya, jilbab yang mereka gunakan itu tidak menutupi dada. 

Terkadang saya agak ilfell juga melihat mereka berpakaian seperti itu. Saya pernah bertanya-tanya dalam hati, 'Tidak malukah engkau wahai saudariku jika setiap lekuk tubuhmu dilihat,dipandang, dan dipelototi para lelaki yang bukan siapa-siapamu ??'.Bahkan aku saja yang wanita, jika melihat engkau berpakaian seksi seperti itu akan tergoda dengan tonjolan tubuhmu yang 'wah' itu. Astaghfirullah..  Padahal Allah SWT memerintahkan kaum wanita untuk menutup auratnya hingga menutupi dada. Allah SWT berfirman, “Dan hendaklah mereka (perempuan yang beriman) menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya),” (QS. An-Nur: 31).

Wanita yang berjilboob cenderung memperlihatkan lekuk pada tubuhnya. Hal itu, merupakan sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Sehingga belum dikatakan bahwa mereka itu beriman, bilamana mereka masih mempertontonkan auratnya.
Selain hal itu dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, penggunaan jilboob ini bisa jadi mengundang kontroversi dikalangan masyarakat. Terutama bagi umat Islam yang paham betul mengenai penggunaan jilbab yang dianjurkan oleh Allah. Dan juga, bila masih terlihat lekuk tubuhnya, tetap saja akan mengundang syahwat seorang laki-laki hidung belang yang bisa jadi akan berniat jahat pada pelaku jilboob tersebut.

Maka dari itu, kita selaku umat muslimin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, hendaklah kita mengikuti aturan yang telah dianjurkan kepada kita. Jangan kita menganggap bahwa dengan menggunakan jilboob kita telah termasuk mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya, tapi lihat dahulu sudah sesuaikah jilbab dan pakaian yang telah kita gunakan.

Allah memerintahkan sesuatu kepada kita pasti ada manfaatnya. Contohnya dengan menganjurkan untuk menggunakan jilbab ini. Jilbablah yang membedakan kaum muslimin dengan non muslimin. Dan dengan menggunakan jilbablah kita akan terhindar dari laki-laki yang akan berniat jahat. Sehingga, kesucian kita sebagai wanita insya Allah tidak akan ternodai. 
Tolong pahamilah itu wahai saudariku. Kau berlian yang patut untuk dijaga. Maka bentengilah semua yang ada pada dirimu mulai yang terkecil sampai yang terbesar. Kau adalah sebaik-baik makhluk. Alloh begitu amat memuliakanmu, maka jagalah dirimu dengan pakaian yang sudah ditetapkan oleh Alloh kepadamu, dan insya Alloh kau akan aman. Percayalah saudariku.. tinggalkan pakaian jahiliyyah itu sekarang juga, maka kau akan selamat.
wallahu a'lam bishowab.


[coretan hamba Alloh yang penuh dosa]
Jilbab, Benarkah Budaya Arab?



Fenomena menutup aurat
Di era tahun 1980-1990-an, kerudung dan jilbab disebut sebagai simbol gerakan baru keagamaan di Indonesia. Hal ini karena di mana kaum muda di kalangan mahasiswa dan pelajar cenderung melakukan purifikasi dalam sikap keberagamaan mereka, termasuk dalam berbusana. Seiring dengan perjalanan zaman, penggunaan kerudung dan jilbab mulai mengalami perkembangan pesat. Di abad 21, penggunaan kerudung dan jilbab semakin marak di berbagai kalangan, melintasi batas-batas kalangan pelajar dan mahasiswi yang menjadi perintis. Pada universitas-universitas negeri maupun swasta, mahasiswi yang berkerudung dan berjilbab lebih banyak dibandingkan mahasiswi yang tidak berjilbab. Kerudung dan jilbab pun mulai menjadi trend perempuan muslimah.

Kerudung dan jilbab sebagai kewajiban dari Allah
Seorang muslimah mengenakan kedua pakaian syar’iy (kerudung dan jilbab) sebagai refleksi keimanannya kepada Allah Swt. Iman yang benar pasti akan mendorong seorang mukmin untuk melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya yang diimaninya. Firman Allah Swt: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (TQS Al-Ahzab [33]: 36). Kerudung dan jilbab wajib dipakai ketika dirinya sudah baligh (sudah mengalami menstruasi). Penggunaan kerudung harus disertai jilbab, demikian pula sebaliknya. Kerudung dikenakan bersama jilbab ketika keluar rumah ataupun berinteraksi dengan orang yang bukan mahram.

Kerudung
Kerudung atau khimar merupakan penutup kepala yang disyariatkan Allah Swt kepada perempuan muslimah, sebagaimana firman Allah Swt: “Katakanlah kepada perempuan yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak memiliki keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.’” (TQS An-Nuur [24]:31).
Kriteria pemakaian kerudung adalah tidak tipis. Jika tipis maka harus diberi lapisan tebal di bawahnya. Batas minimal panjang kerudung adalah amenutupi juyuub (dada) serta harus menutupi kepala, rambut, dua telinga, leher dan dada. Adapun kerudung yang tidak sesuai syariat: tidak menutup leher, hanya sampai menutup leher, tidak menutup telinga, rambut masih terlihat, memperlihatkan perhiasan seperti kalung dan anting, tipis/transparan dan ketat membentuk lekuk kepala/tubuh.

Jilbab
Jilbab berasal dari akar kata jalaba (jamaknya jalaabib), yang berarti menghimpun dan membawa. Jilbab adalah pakaian luar yang menutupi segenap anggota badan dari kepala hingga kaki perempuan dewasa, sebagaimana firman Allah Swt: “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (TQS Al-Ahzab [33]: 59).
Selanjutnya, hadits dari Ummu ‘Athiyah yang berkata: “Rasulullah saw telah memerintahkan kepada kami untuk keluar (menuju lapangan) pada saat Hari raya Idul Fitri dan Idul Adha; baik perempuan tua, yang sedang haid maupun perawan. Perempuan yang sedang haid menjauh dari kerumunan orang yang sholat, tetapi mereka menyaksikan kebaikan dan seruan yang ditujukan kepada kaum muslim. Aku lantas berkata, “Ya Rasulullah saw, salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab.” Beliau kemudian bersabda, “Hendaklah salah seorang saudaranya meminjamkan jilbabnya.” Ketika Ummu ‘Athiyah bertanya tentang seseorang yang tidak memiliki jilbab, tentu perempuan tersebut bukan dalam keadaan telanjang, melainkan dalam keadaan memakai pakaian yang biasa dipakai di dalam rumah yang tidak boleh dipakai untuk keluar rumah. Dan perempuan yang tidak memiliki jilbab harus meminjam kepada saudaranya. Jika saudaranya tidak bisa meminjamkannya, maka yang bersangkutan tidak boleh keluar rumah.
Jilbab seringkali disebut sebagai budaya bangsa Arab. Jilbab bukanlah budaya bangsa Arab, jilbab merupakan syariat Islam. Jika jilbab merupakan budaya bangsa Arab, tentu ayat itu tiada berguna. Ayat tentang kewajiban berjilbab ini turun di Madinah. Hikmah mengenakan jilbab adalah supaya lebih mudah dikenal sehingga tidak diganggu. Bagian akhir ayat bahwa ‘Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’ dimaksudkan bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang terhadap apa yang telah berlalu di masa jahiliyah di mana mereka belum mengetahui dan memahami tentang kewajiban jilbab.
Di zaman Rasulullah saw, jika orang-orang fasik melihat seorang perempuan yang mengenakan jilbab, maka mereka mengatakan bahwa ini perempuan merdeka dan mereka tidak berani mengganggu perempuan itu. Jika mereka melihat perempuan itu tidak mengenakan jilbab, maka mereka mengatakan bahwa ini budak perempuan, sehingga mereka menggodanya. Perempuan berjilbab itu menjadi mulia karena diketahui bahwasanya mereka adalah perempuan merdeka sehingga orang-orang fasik itu tidak mengganggunya. Orang-orang fasik tidak berani mengganggu muslimah, karena pelecehan terhadap muslimah akan menerima hukuman besar. Disamping itu, segala gangguan dan pelecehan terhadap muslimah pada hakikatnya adalah pelanggaran terhadap kehormatan kaum muslimin secara keseluruhan.
Bentuk pakaian wanita yang tidak termasuk kriteria jilbab adalah sebagai berikut:
• rok panjang dan baju kurung
• celana panjang dan baju kurung
• kerudung panjang sampai menutupi pantat tetapi jubahnya tidak sampai telapak kaki
• jubah panjang sampai telapak kaki tetapi ada potongan/belahan di pinggir pakaian dari bawah sampai betis, lutut atau paha
• jubah sampai telapak kaki tetapi ketat sehingga membentuk lekuk tubuh
• jubah sampai telapak kaki dan luas tetapi transparan sehingga terlihat warna kulit tubuhnya
• jubah sampai telapak kaki, luas dan tidak transparan tetapi bukan merupakan baju luar karena di dalamnya tidak ada pakaian rumah (mihnah).

Solusi
Islam memandang perempuan sebagai suatu kehormatan yang wajib dijaga dan dipelihara. Islam mensyariatkan kerudung dan jilbab adalah untuk menjaga dan memelihara kehormatan itu. Nabi saw bersabda: “Perempuan itu adalah aurat.” Badan perempuan harus ditutupi sebagai aurat yang merupakan kehormatan baginya. Jika aurat itu dilihat orang yang tidak berhak, maka perempuan itu dilecehkan kehormatannya.
Para perempuan yang tidak memakai pakaian syar’iy (kerudung dan jilbab) di depan umum, berarti dia telah menyia-nyiakan payung hukum baginya. Perempuan yang mengobral auratnya sesungguhnya telah menjatuhkan martabat dan kehormatannya sendiri. Ini tidak diperkenankan dan pelakunya bisa dikenakan hukuman ta’zir (hukuman untuk mendidik) oleh negara. Dalam sistem peradilan Islam, hakim bisa menjatuhkan hukuman jilid pada perempuan yang keluar rumah tanpa mengenakan kerudung dan jilbab. Jika mengulangi lagi, maka perempuan itu akan diasingkan selama 6 bulan. 

[islampos.com]

Jumat, 05 September 2014

 DILEMA CINTA DALAM LOGIKA



Pernikahan bukan hanya tindakan  penyaluran cinta atau kebutuhan biologis tanpa upaya menuai pahala. Akan tetapi, setiap insan tentu mengidamkan suatu pernikahan yang dipenuhi rasa bahagia, penuh nuansa cinta dalam hidup berumah tangga, selain sebagai suatu cara yang bisa menghantarkan pelakunya ke surga (baca: bernilai ibadah). Sungguh lebih nikmat terasa, bersanding dengan tambatan hati yang didamba. Maka tak heran jika terkadang seabrek kriteria pun diajukan, demi mendapat pasangan impian.
Persoalan level standar subyektif yang ditetapkan calon pasangan sangatlah beragam. Tiap individu tentu ingin mendapatkan yang terbaik sebagai pasangan hidupnya, dalam rangka mendambakan bahagia dalam bahtera rumah tangga. Oleh karena itulah, timbul beragam patokan standar pemilihan calon pasangan. Pada dasarnya patokan kriteria itu boleh-boleh saja, selama kriteria tersebut hanya dijadikan patokan sementara yang bersifat opsional dan fleksibel.
Artinya: Jikalau memang ternyata tidak ditemukan yang sama persis dengan kriteria idealnya, maka dia tidak memadharatkan dirinya sendiri dengan menunda pernikahan, demi mendapatkan yang sama persis dengan dambaan hatinya. Padahal, kondisinya sendiri sudah berada dalam “ambang batas” wajib untuk menikah. Sungguh merugi jika dengan standar yang terlalu tinggi, malah menjadi “batu sandungan” bagi diri sendiri maupun orang lain untuk menuju jenjang pernikahan.
Seseorang seringkali menetapkan kriteria tambahan bagi calon pasangan, seperti : harta, garis keturunan, kepribadian, kebiasaan, bahkan yang paling umum menyangkut fisik dan “keelokan” rupa -maaf, mungkin agak sensitif terlebih bagi wanita-. Akan tetapi, terlalu ironis apabila kriteria tersebut -yang sejatinya bisa ditawar- malah justru membantai kriteria asasi (baca: kriteria yang menyangkut agama) yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui lisan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penulis memohon maaf untuk tidak banyak menyinggung berbagai macam kriteria pernikahan, karena bukan dalam kesempatan ini dibahas tentang hal tersebut dalam timbangan syari’at.
Kriteria opsional memang penting, tapi yang asasi itu tentu jauh lebih penting. Suatu hal yang dianggap manusiawi ketika seseorang menginginkan kriteria asasi maupun opsional terkumpul menjadi satu. Akan tetapi, hendaknya dia lebih bersikap logis dan realistis, daripada menjadi sosok yang terlalu idealis lagi perfeksionis. Mulailah bersikap realistis…teramat susah mencari pendamping yang nyaris sempurna.
Kalaupun sudah ditemukan, jangan terlalu girang dahulu! Karena bisa jadi si pujaan hati bukan mendamba orang seperti Anda menjadi pendamping hidupnya. Yang jadi pertanyaan selanjutnya bagi diri Anda adalah, “Apakah dia sudi bersanding dengan saya? Apakah dia memang benar-benar yang terbaik untuk saya?” Karena belum tentu yang terbaik menurut Anda, merupakan yang terbaik menurut Allah ‘Azza wa Jalla. Bisa jadi justru yang “pas-pasan” itulah yang terbaik bagi Anda.
Andaikata lisan membenarkan pernyataan “saat ini, tidak ada manusia yang sempurna dan terbebas dari cela”, selayaknya hal tersebut terpatri dalam pikiran dan diaplikasikan dalam bentuk perbuatan, yakni bersikap lapang dada dan toleran terhadap kekurangan calon pasangan maupun pasangan yang telah didapatkan. Sekali lagi penulis tandaskan: menetapkan kriteria sampingan tidaklah salah, bahkan itu selaras dengan sisi manusiawi, dan bisa juga turut membantu melanggengkan ikatan cinta pasutri. Akan tetapi, yang hendak dikritisi di sini, jangan sampai itu justru menjadi kendala dalam fase menuju pernikahan (belum mau menikah hanya karena keras kepala dalam menetapkan kriteria opsionalnya).
تريد مهذبا لا عيب فيه … وهل عود يفوح بلا دخان؟
“Apabila engkau mendamba seorang yang berbudi tanpa cela,
mungkinkah kiranya gaharu menebarkan wanginya tanpa asap?”

(Majma’ Al-Hikam wal Amtsal fi Asy-Syi’r Al-‘Arabi)
Pepatah ini mengibaratkan mustahilnya keinginan seseorang untuk mendapatkan orang yang sempurna tanpa cela, baik untuk dijadikan kawan dekat maupun kawan hidup, karena gaharu justru baru akan menebarkan aroma wanginya yang begitu kuat jika dibakar terlebih dahulu kemudian berasap. Justru asap gaharu itulah yang nantinya akan mengeluarkan semerbak harumnya yang khas.
Dikisahkan bahwa Khalifah Umar ibn ‘Abdil Aziz rahimahullah pernah menulis surat kepada putranya. Salah satu perkataan Beliau dalam surat tersebut adalah,
رَحِمَ اللهُ امْرَأً عَرَفَ قَدْرَ نَفْسِهِ
“…Semoga Allah merahmati orang yang tahu kemampuan dirinya sendiri…” (Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah)
Perkataan di atas sama sekali tidak bermaksud untuk menyurutkan atau bahkan mematikan semangat dan harapan orang yang belum menikah untuk mendapatkan pasangan yang berkualitas lebih dari dirinya. Akan tetapi, perkataan di atas lebih ditujukan sebagai pengingat bagi para idealis dan perfeksionis yang seringkali “neko-neko” untuk lebih sadar diri tentang kemampuan yang dimilikinya, dalam menetapkan kriteria sampingan yang pada dasarnya masih bisa ditawar. Sebagaimana ungkapan yang sering kita dengar,
Apabila Anda tidak memiliki kualitas sebaik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka jangan terlalu berangan tinggi bahwa Anda akan mendapat istri seperti ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Bilamana Anda bukan seperti ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, maka jangan terlalu bermimpi mendapatkan wanita sebagaimana Fathimah radhiyallahu ‘anha.”
Ungkapan permisalan ini memang tidak bisa dibawa secara paten, karena bisa saja seorang yang berkualitas, namun mendapat pasangan yang kurang sederajat dari segi kualitasnya. Akan tetapi, sekali lagi ungkapan tersebut hanyalah sebagai pendorong bagi seseorang untuk kembali pada alam realita. Ungkapan ini juga berguna sebagai kontrol agar seseorang hendaknya berusaha menyadari kemampuan yang dia miliki, sehingga dia tidak lagi hanyut dalam alam mimpinya untuk mendapatkan pasangan yang serba “wow”.
Maka patut Anda pertanyakan dalam diri Anda, “Apakah Anda memiliki kualitas bak lelaki penghuni surga yang tanpa cela, hingga Anda mengidamkan pasangan semisal bidadari yang sempurna tiada bandingnya?”
Fenomena di atas hanya secuil gambaran onak yang bertaburan di jalan pra nikah. Ada lagi kisah calon pengantin yang didera perasaan minder dan sebagainya hingga berkecamuklah gejolak di hatinya,
“Saya belum bekerja”… “Saya hanya seorang…”…”Gaji saya cuma pas – pasan”…”Dia dari keluarga berada sedangkan saya dari keluarga biasa saja.”
“Saya belum bisa mengaji…ilmu saya masih sedikit…belum bisa ini…belum bisa itu…”

“Saya biasa saja, sedangkan calon saya itu terlalu cantik/tampan…saya merasa tidak sebanding dengan dia.” dan lain sebagainya.
Hati ini merasa miris melihat realita yang terbentang di hadapan mata, manakala banyak orang yang terjangkit sindrom “pilu sendu mengharu biru” pra nikah, karena faktor internal maupun eksternal. Oleh sebab itu, kami ingin menyampaikan beberapa ulasan yang mungkin berguna bagi penderita sindrom tersebut.
1. Mengikhlaskan niat
Niat merupakan titik awal dilakukannya suatu perbuatan. Lurus atau tidaknya niat pada stase awal pernikahan sangat berpengaruh pada kokoh atau tidaknya bangunan rumah tangga. Bangunan pernikahan tipe “SAMARA” perlu pondasi niat lurus yang kokoh, pilar-pilar keikhlasan agar selalu tegar dan tegak berdiri, tembok dari ketakwaan yang dapat membentenginya dari serbuan hawa nafsu, dan puncak atap yang tersusun dari keinginan bertemu wajahNya di surga Al-Firdaus Al-A’la.
Dengan memahami hakikat inti pernikahan, tiap individu hendaknya mencoba bertanya pada diri sendiri, kemudian menjawab dengan hati nurani :
a. Apa sebenarnya tujuan pokok saya menikah? Apa hanya semata – mata memuaskan hasrat kodrati yang manusiawi? atau melaksanakan sunnah? atau dalam rangka menjaga kemaluan dan pandangan…atau dibumbui beragam tendensi duniawi lainnya?
Tentunya akan didapat berbagai macam versi jawaban sesuai dengan individu itu sendiri, namun jawaban yang paling hakiki akan bermuara pada satu kalimat pungkasan “menggapai ridha ilahi sebagai salah satu usaha menuju kenikmatan surgawi nan abadi, melalui ikatan pernikahan yang suci”. Pada jawaban ini terkandung manifestasi dari tujuan diciptakannya manusia di muka bumi, yakni untuk beribadah kepadaNya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan segala amalan yang kita kerjakan tentulah akan berpulang pada tujuan awal ini.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
(Qs. Adz-Dzariat: 56)
b. Apakah langkah yang harus saya tempuh untuk meraih tujuan yang paling tinggi dari pernikahan itu sendiri? Apa harus benar – benar mendapat pasangan yang kaya terlebih dahulu, atau yang semata karena punya keelokan rupa, atau dari keluarga berada..atau..dan atau.. Andai seseorang berlomba-lomba menetapkan kriteria tinggi guna kepentingan ukhrawi tidaklah mengapa, namun jika berlomba-lomba kriteria duniawi yang tinggi…maka itulah sumber awal masalahnya.
Saudaraku, apa karena istri Anda kurang cantik, atau tidak sempurna dalam pandangan Anda…lantas Anda menelantarkan dan ingin meninggalkannya karena sukar mencintainya?
Saudariku…apakah karena suami Anda kurang kaya dan punya beragam cela…maka Anda sulit menghargainya? Lalu untuk apa sebenarnya cita-cita klimaks dan tujuan inti Anda menikah ya Akhi alhabib dan Ukhti alhabibah? Yakni untuk bertemu wajahNya di surga, karena kita berharap surga menjadi tempat hunian yang kekal setelah kematian kita.
2. Mempersiapkan diri dengan ilmu
Ketika sauh bahtera dua jiwa diangkat, bahtera pun mulai berlayar dari dermaga cinta mengarungi samudera rumah tangga menuju tempat akhir yang penuh bahagia. Dalam perjalanan jauh yang harus ditempuh bahtera, pasti seringkali dijumpai berbagai rintangan problematika yang datang silih berganti, sehingga diperlukan bekal ilmu yang cukup untuk menghadapi problematika ini. Ada banyak disiplin ilmu sebelum nikah yang harus dipelajari. Maka pelajarilah ilmu wajib yang memang harus dikuasai masing-masing individu (seperti tauhid dan fiqh amal sehari-hari) dan ilmu yang paling urgent dipelajari terlebih dahulu untuk masuk ke gerbang pernikahan. Adapun disiplin ilmu yang lain dapat dipelajari seiring waktu berjalan, Insya Allah.
Artinya, tiap individu menetapkan skala prioritas tentang apa sajakah ilmu yang mendesak untuk dipelajari terlebih dahulu sehubungan dengan kondisinya yang akan menapaki tangga pelaminan. Contoh ilmu yang urgent dipelajari sebelum pernikahan: belajar tentang bagaimanakah tata cara pernikahan yang syar’i dan seluk beluk hukum pernikahan beserta adab malam pertama, mempelajari hak dan kewajiban suami istri beserta pernak – perniknya, dsb. Baik juga kiranya untuk berdiskusi dan menimba ilmu rumah tangga dari berbagai pihak yang sudah makan banyak asam garam dalam mengayuh biduk rumah tangga.
3. Mempersiapkan mental
Hidup ini sebagaimana digambarkan dalam sebuah adage (peribahasa) lama yang berbunyi:
“Hidup bukanlah sebagaimana ranjang yang bertabur bunga mawar.” [1]
Begitu juga dengan pernikahan yang dijalani pasutri. Artinya, pernikahan tidak hanya bertabur dengan keindahan dan romantika cinta saja. Akan jauh lebih baik jika tiap diri tidak berlarut-larut dalam lamunan semu romantisme pernikahan belaka. Wajar jika akan ada saat suka dan bahagia datang menyapa, dan akan tiba pula saat duka nestapa melanda.
Jikalau goncangan demi goncangan hanya dihadapi dengan keluhan, sikap lemah, dan jiwa yang rapuh…bukan solusi yang akan didapat, namun malah petaka yang kian mendekat. Maka dari itu, sedari dini persiapkanlah diri untuk bersikap tegar, teguh, tabah dan berpikirlah “dewasa”yang dilandasi dengan ilmu agama ketika badai ujian menerpa bahtera rumah tangga, meskipun terkadang hantaman realita begitu membuat jiwa terasa menderita.
4. Membenahi diri dalam hal kualitas keshalihan
Pada dasarnya pembenahan diri mutlak dilakukan kapan saja dan di mana saja. Akan tetapi, pada konteks bahasan kali ini, pembenahan diri yang dimaksud adalah pembenahan diri sebelum menginjak pernikahan. Suatu contoh wujud pembenahan diri, -dalam rangka usaha mendapatkan pasangan idaman sesuai impian, jika mungkin yang shalih/shalihah lagi rupawan dan “hartawan”- adalah mengupayakan peningkatan kualitas keimanan dan keshalihan diri kita sendiri.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)…” (Qs. An–Nur: 26)
Sebab ayat ini turun berkenaan dengan bantahan dari sisi Allah mengenai tuduhan dusta atas perbuatan zina yang dilakukan oleh ‘Aisyah dan Shafwan ibn Mu’aththal As-Sulami radhiyallahu ‘anhuma, yang terkenal dengan peristiwa “Al-Ifk”.
Allah berkehendak untuk menyucikan dan membersihkan tuduhan tersebut dari ‘Aisyah dan Shafwan ibn Mu’aththal As-Sulami radhiyallahu ‘anhuma, bahwa mereka berdua tidaklah berzina sebagaimana yang dituduhkan. Oleh karena itu, mayoritas ahli tafsir menafsirkan kata Al-Khabits dan Ath-Thayyib lebih mencakup pada baik dan buruknya perkataan. Akan tetapi, di dalam Kitab Zadul Masir, ditafsirkan bahwa yang dimaksud Al-Khabits dan Ath-Thayyib bukan hanya mencakup orang yang memiliki kebaikan atau keburukan dalam perkataan saja, tapi juga mencakup sisi amal perbuatan.
والرابع: الخبيثات من الأعمال للخبيثين من الناس، والخبيثون من الناس للخبيثات من الأعمال…. وكذلك الطيبات…..
“….Keempat: wanita-wanita yang berbuat keji diperuntukkan bagi para lelaki yang berbuat keji, dan laki-laki yang melakukan perbuatan keji pun diperuntukkan bagi wanita-wanita yang berbuat keji pula. Begitu juga dengan wanita-wanita yang beramal baik (maka wanita-wanita yang beramal baik ini diperuntukkan bagi para lelaki yang beramal baik dan sebaliknya -pen )…” (Zadul Masir)
Kadangkala timbul persepsi sebagian orang mengenai kelaziman (konsekuensi) mutlak Qs. An–Nur: 26, bahwa jikalau kita beranggapan bahwa diri kita belum begitu baik, maka jodoh kita tidak akan begitu jauh kualitas agamanya dengan diri kita, minimal setingkat dan semisal dengan kita dalam level kualitas agama.
Di satu sisi kita sadar diri bahwa kita masih sangat kurang tingkat keshalihannya, namun di sisi lain kita juga menginginkan pasangan yang kadar takwa, keshalihan, dan ilmunya dianggap jauh lebih tinggi dari kita. Berpatokan dengan kondisi tersebut, kita merasa tidak mungkin dan seolah-olah mustahil untuk mendapatkan pasangan yang berkualitas seperti mereka…ibarat si cebol yang merindukan bulan. Apakah mutlak selalu demikian keadaannya? Kalau memang benar kita bisa mendapatkan pasangan yang dianggap bermutu tinggi, seringkali justru kita yang merasa tidak sepadan dan kurang pantas bersanding dengan orang seperti itu, karena terjadi ketimpangan dalam kadar keshalihan.
1. Andaikata perkaranya berhenti pada pilihan kata “mungkin” atau “tidak mungkin” Al-Khabitsah mendapatkan Ath-Thayyib dan sebaliknya, maka jawabnya adalah mungkin. Ayat tersebut hanya menekankan perkara hukum yang bersifat mendasar, yakni bersifat aghlabiyyah (sebagian besar/mayoritas) dan aulawiyyah (lebih-lebih). Akan tetapi, dalam ayat tersebut tidak terkandung makna yang mutlak bahwa seseorang yang shalih pasti akan mendapat pasangan yang sekufu (sederajat) juga dalam tingkat keshalihannya. Bisa saja terjadi pengecualian dari kaidah dasar tersebut jika memang Allah menghendaki dengan segala keadilan, kehendak, kuasa dan hikmah yang Allah miliki. (Silahkan temukan contoh nyatanya yang diabadikan dalam Al-Qur’an, bahwa bisa saja Al-Khabits mendapatkan Ath-Thayyibah dan Ath-Thayyib mendapatkan Al-Khabitsah pada point ke-7)
2. Subhanallah, begitu mengherankan tatkala mendapati orang yang perasaannya “menolak” dengan halus datangnya kebaikan bagi dirinya lewat perantara keshalihan pasangan. Manusia memang diberi perasaan tingkat tinggi untuk melengkapi kinerja akal, sehubungan dengan kedudukannya sebagai khalifah di muka bumi. Akan tetapi, bukan hal yang baik dan bijak jika tiap kejadian hanya dipahami dan dihukumi melalui perspektif perasaan saja.
Duhai jiwa, sesungguhnya Allah memberi petunjuk pada siapapun yang Dia kehendaki, dan lewat jalan yang Dia kehendaki pula. Alih-alih larut dalam perasaan minder “tidak level“, bukankah sebaiknya langkah pertama yang kita ambil adalah bersyukur dan berbahagia? Tidak semua orang bisa mendapat anugrah seperti itu, kita justru yang sudah meraihnya malah menyia-nyiakannya.
Langkah kedua, buka pikiran positif dan cerna baik-baik hikmah yang terkandung dalam peristiwa itu, karena mungkin Allah berkehendak membuat diri kita yang sekarang jauh lebih baik dari kita yang dahulu melalui perantara pasangan kita. Maka bergegaslah untuk menyongsong anugrah tersebut dan segeralah menyamakan level! Bukan hanya untuk mendapatkan pengakuan manusia karena malu tidak selevel, namun karena mengharap bertemu wajahNya di surga (baca: merubah diri yang didasari ikhlas karena Allah semata, bukan karena mendahulukan ridha manusia).
5. Melengkapi bekal yang lain sebelum menikah
Ketika kita mendengar kalimat “perbanyaklah bekal sebelum menikah”, mungkin yang akan terbayang di benak kita adalah bekal berupa pundi-pundi harta. Ini bukanlah bekal tambahan hakiki untuk menghadapi pernikahan, meskipun tidak bisa dielakkan bahwa materi itu juga penting sebagai salah satu bekal dasar menuju pernikahan. Manakala ilmu tentang kehidupan rumah tangga sudah dipelajari sebagai bekal, maka bekal lain yang sangat penting dimiliki oleh calon pasangan pengantin adalah bekal ketakwaan. Bekal ketakwaan ini bukan saja khusus ditujukan bagi yang sedang mempersiapkan mahligai rumah tangga, namun memang harus dimiliki oleh setiap muslim dan muslimah siapapun dia, kapanpun jua, dan di manapun ia berada.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا (70) يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا (71)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Qs. Al-Ahzab: 70-71)
وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
“…Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.” (Qs. Al-Baqarah: 197)
Telah disinggung di ulasan sebelumnya, bahwa bangunan pernikahan bertipe “SAMARA” (Sakinah, Mawaddah wa Rahmah) memerlukan dinding kokoh dari ketakwaan yang dapat membentengi hati dari serbuan hawa nafsu. Dengan adanya ketakwaan inilah, masing-masing pasangan akan berusaha mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya tentang hak, kewajiban, dan bagaimana adab berinteraksi dengan pasangan. Ketakwaan ini pulalah yang sanggup mengendalikan diri dari hawa nafsu yang buruk, yang bisa menghancurkan diri, rumah tangga, bahkan agama.
6. Memperbanyak doa
Tidak ada seorang muslim yang berakal dan baligh di dunia ini yang tidak pernah memanjatkan doa. Ini suatu bukti bahwa kita senantiasa membutuhkanNya. Doa juga merupakan wujud penghambaan dan perendahan diri kita terhadap Yang Maha Kuasa. Siapakah orangnya yang akan meragukan dahsyatnya kekuatan yang terkandung dalam doa? Untuk itulah kita harus senantiasa menundukkan diri kita dengan terus menerus memohon dan berdoa tanpa putus asa, dengan memenuhi segala adab berdoa[2], agar:
• Mendapat pasangan shalih/shalihah untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.
• Terhindar dari perasaan sedih, rasa gundah, khawatir akan masa depan. [silahkan baca lebih lengkap di artikel Untukmu…Yang Dirundung Rindu dan Sendu (Bag.1)]
• Doa agar dikaruniai pasangan yang TERBAIK bagi diri kita, bukan hanya terbaik menurut kita, karena hanya Allah semata yang paling tahu segala sesuatu yang paling baik bagi hambaNya.
Doa agar mendapat kemudahan dalam segala urusan, khususnya urusan jodoh
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَللَّهُمَّ لا سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَ أَنْتَ تَجْعَلُ الْحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً
“Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali apa yang Engkau jadikan mudah. Dan apabila Engkau berkehendak, Engkau akan menjadikan kesusahan menjadi kemudahan.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya no. 2427, Ibnu Sunni dalam Amal Al-Yaum wa Al-Lailah no. 351, Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashfahan: 2/305, Imam Al-Ashbahani dalam At-Targhib: 1/131. Syaikh Al-Albani menilai shahih dalam Silsilah Shahihah dan mengatakan, “Isnadnya shahih sesuai syarat Muslim.”)
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (Qs. Ghafir: 60)
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya tentang Ku, maka jawablah bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu. Maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintahKu dan hendaklah mereka beriman kepadaKu agar mereka memperoleh kebenaran.” (Qs. Al-Baqarah: 186)
Di dalam kedua ayat di atas disebutkan bahwa Allah telah berjanji dan menjamin akan mengabulkan doa hambaNya. JanjiNya bersifat mutlak, karena Allah tidak akan pernah mengingkari janji yang telah dibuatNya. Akan tetapi, janganlah kita lupa bahwa pengabulan itu memiliki syarat. Pengabulan doa itu pun tentu menurut pilihanNya yang terbaik, bukan menurut pilihan selera kita, pun pada waktu yang dikehendakiNya, bukan menurut waktu yang kita kehendaki. Bukankah dalam ayat tersebut Allah tidak berfirman dengan kata-kata, “menurut tuntutanmu, atau menurut waktu yang engkau kehendaki, atau menurut kehendakmu itu sendiri?” Bisa jadi (dengan doa tersebut-red) Allah segera mengabulkannya, atau bisa pula Allah menundanya bahkan hingga di akhirat, atau Allah menghindarkan dia dari musibah yang akan menimpanya.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنْ السُّوءِ مِثْلَهَا قَالُوا: إِذًا نُكْثِرُ، قَالَ: «اللَّهُ أَكْثَرُ»
Dari Abu Sa’id (Al-Khudri pen) radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang muslim yang berdoa dengan doa yang tidak mengandung dosa dan tidak untuk memutus tali kekeluargaan, kecuali Allah akan memberinya tiga kemungkinan: Doanya akan segera dikabulkan, atau akan ditunda sampai di akhirat, atau ia akan dijauhkan dari keburukan yang semisal. Lalu mereka berkata, “kalau begitu kita seyogyanya banyak berdoa (meminta).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Allah akan memberi lebih banyak (dari yang diminta hambaNya pen)” (HR. Ahmad no.11133) [3]
Ketika Allah ternyata menunda terkabulnya doa, atau bahkan Allah menetapkan sesuatu yang berbeda dari tuntutan doa kita, itu bukan berarti Allah melanggar janjiNya untuk mengabulkan doa. Kita pun tidak perlu kecewa hanya karena Allah menunda atau malah mengganti permintaan yang ada dalam untaian doa kita dengan ketetapanNya yang lain, karena Allah lah yang tahu hal terbaik untuk kita, beserta mashlahat dan madharatnya jika doa yang kita panjatkan itu terkabul.
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 216)
Banyak sebab mengapa doa itu belum jua dikabulkan. Salah satunya karena belum menempuh segala adab yang benar dalam berdoa, kita masih lalai dalam melaksanakan perintahNya dan masih bermudah-mudahan dalam berbuat dosa, kita masih memakan harta dari jalan yang haram, kita belum betul-betul “menghinakan diri” dalam memanjatkan doa, atau kita malah berputus asa dalam berdoa. Berbicara tentang keputusasaan dalam berdoa, perkara ini banyak terjadi di sebagian kaum muslimin bahkan dari kalangan penuntut ilmu sekalipun. Mereka terlalu tergesa-gesa dalam berdoa. Sesekali waktu doa belum terkabulkan, mereka “ngambek” dan putus asa untuk berdoa lagi…lagi…dan lagi.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ، يَقُولُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Doa salah seorang dari kalian akan dikabulkan selagi dia tidak terburu-buru, yaitu dengan berkata, “Aku sudah memanjatkan doa namun belum juga dikabulkan bagiku.””(HR. Bukhari no.6340)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : لاَ يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ ، مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ ، أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ ، مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ قِيلَ : يَا رَسُولَ اللهِ ، مَا الاِسْتِعْجَالُ ؟ قَالَ : يَقُولُ : قَدْ دَعَوْتُ وَقَدْ دَعَوْتُ ، فَلَمْ أَرَ يَسْتَجِيبُ لِي ، فَيَسْتَحْسِرُ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Doa seorang hamba senantiasa dikabulkan selagi dia tidak berdoa untuk suatu perbuatan dosa atau untuk memutuskan hubungan persaudaraan, asalkan dia tidak tergesa-gesa.” Ada yang bertanya,” Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan tergesa-gesa?” Beliau menjawab, “Dia berkata, “Aku sudah memanjatkan doa dan aku sudah memanjatkan doa lagi, namun belum kulihat doaku dikabulkan. “ Lalu dia merasa letih saat itu dan meninggalkan doa.” (HR.Muslim no.7036)

Muslimah.or.id