DILEMA CINTA DALAM LOGIKA
![]() |
Pernikahan bukan hanya tindakan penyaluran cinta atau kebutuhan
biologis tanpa upaya menuai pahala. Akan tetapi, setiap insan tentu
mengidamkan suatu pernikahan yang dipenuhi rasa bahagia, penuh nuansa
cinta dalam hidup berumah tangga, selain sebagai suatu cara yang bisa
menghantarkan pelakunya ke surga (baca: bernilai ibadah). Sungguh lebih
nikmat terasa, bersanding dengan tambatan hati yang didamba. Maka tak
heran jika terkadang seabrek kriteria pun diajukan, demi mendapat
pasangan impian.
Persoalan level standar subyektif yang ditetapkan calon pasangan
sangatlah beragam. Tiap individu tentu ingin mendapatkan yang terbaik
sebagai pasangan hidupnya, dalam rangka mendambakan bahagia dalam
bahtera rumah tangga. Oleh karena itulah, timbul beragam patokan standar
pemilihan calon pasangan. Pada dasarnya patokan kriteria itu
boleh-boleh saja, selama kriteria tersebut hanya dijadikan patokan
sementara yang bersifat opsional dan fleksibel.
Artinya: Jikalau memang ternyata tidak ditemukan yang sama persis
dengan kriteria idealnya, maka dia tidak memadharatkan dirinya sendiri
dengan menunda pernikahan, demi mendapatkan yang sama persis dengan
dambaan hatinya. Padahal, kondisinya sendiri sudah berada dalam “ambang batas” wajib untuk menikah. Sungguh merugi jika dengan standar yang terlalu tinggi, malah menjadi “batu sandungan” bagi diri sendiri maupun orang lain untuk menuju jenjang pernikahan.
Seseorang seringkali menetapkan kriteria tambahan bagi calon
pasangan, seperti : harta, garis keturunan, kepribadian, kebiasaan,
bahkan yang paling umum menyangkut fisik dan “keelokan” rupa -maaf, mungkin agak sensitif terlebih bagi wanita-. Akan tetapi, terlalu ironis apabila kriteria tersebut -yang sejatinya bisa ditawar- malah justru membantai kriteria asasi (baca: kriteria yang menyangkut agama) yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui lisan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Penulis memohon maaf untuk tidak banyak menyinggung berbagai macam
kriteria pernikahan, karena bukan dalam kesempatan ini dibahas tentang
hal tersebut dalam timbangan syari’at.
Kriteria opsional memang penting, tapi yang asasi itu tentu jauh
lebih penting. Suatu hal yang dianggap manusiawi ketika seseorang
menginginkan kriteria asasi maupun opsional terkumpul menjadi satu. Akan
tetapi, hendaknya dia lebih bersikap logis dan realistis, daripada
menjadi sosok yang terlalu idealis lagi perfeksionis. Mulailah bersikap
realistis…teramat susah mencari pendamping yang nyaris sempurna.
Kalaupun sudah ditemukan, jangan terlalu girang dahulu! Karena bisa jadi si pujaan hati bukan mendamba orang seperti Anda menjadi pendamping hidupnya. Yang jadi pertanyaan selanjutnya bagi diri Anda adalah, “Apakah dia sudi bersanding dengan saya? Apakah dia memang benar-benar yang terbaik untuk saya?” Karena belum tentu yang terbaik menurut Anda, merupakan yang terbaik menurut Allah ‘Azza wa Jalla. Bisa jadi justru yang “pas-pasan” itulah yang terbaik bagi Anda.
Kalaupun sudah ditemukan, jangan terlalu girang dahulu! Karena bisa jadi si pujaan hati bukan mendamba orang seperti Anda menjadi pendamping hidupnya. Yang jadi pertanyaan selanjutnya bagi diri Anda adalah, “Apakah dia sudi bersanding dengan saya? Apakah dia memang benar-benar yang terbaik untuk saya?” Karena belum tentu yang terbaik menurut Anda, merupakan yang terbaik menurut Allah ‘Azza wa Jalla. Bisa jadi justru yang “pas-pasan” itulah yang terbaik bagi Anda.
Andaikata lisan membenarkan pernyataan “saat ini, tidak ada manusia yang sempurna dan terbebas dari cela”,
selayaknya hal tersebut terpatri dalam pikiran dan diaplikasikan dalam
bentuk perbuatan, yakni bersikap lapang dada dan toleran terhadap
kekurangan calon pasangan maupun pasangan yang telah didapatkan. Sekali
lagi penulis tandaskan: menetapkan kriteria sampingan tidaklah salah,
bahkan itu selaras dengan sisi manusiawi, dan bisa juga turut membantu
melanggengkan ikatan cinta pasutri. Akan tetapi, yang hendak dikritisi
di sini, jangan sampai itu justru menjadi kendala dalam
fase menuju pernikahan (belum mau menikah hanya karena keras kepala
dalam menetapkan kriteria opsionalnya).
تريد مهذبا لا عيب فيه … وهل عود يفوح بلا دخان؟
“Apabila engkau mendamba seorang yang berbudi tanpa cela,
mungkinkah kiranya gaharu menebarkan wanginya tanpa asap?”
(Majma’ Al-Hikam wal Amtsal fi Asy-Syi’r Al-‘Arabi)
mungkinkah kiranya gaharu menebarkan wanginya tanpa asap?”
(Majma’ Al-Hikam wal Amtsal fi Asy-Syi’r Al-‘Arabi)
Pepatah ini mengibaratkan mustahilnya keinginan seseorang untuk
mendapatkan orang yang sempurna tanpa cela, baik untuk dijadikan kawan
dekat maupun kawan hidup, karena gaharu justru baru akan menebarkan
aroma wanginya yang begitu kuat jika dibakar terlebih dahulu kemudian
berasap. Justru asap gaharu itulah yang nantinya akan mengeluarkan
semerbak harumnya yang khas.
Dikisahkan bahwa Khalifah Umar ibn ‘Abdil Aziz rahimahullah pernah menulis surat kepada putranya. Salah satu perkataan Beliau dalam surat tersebut adalah,
رَحِمَ اللهُ امْرَأً عَرَفَ قَدْرَ نَفْسِهِ
“…Semoga Allah merahmati orang yang tahu kemampuan dirinya sendiri…” (Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah)
Perkataan di atas sama sekali tidak bermaksud untuk menyurutkan atau
bahkan mematikan semangat dan harapan orang yang belum menikah untuk
mendapatkan pasangan yang berkualitas lebih dari dirinya. Akan tetapi,
perkataan di atas lebih ditujukan sebagai pengingat bagi para idealis
dan perfeksionis yang seringkali “neko-neko” untuk lebih sadar
diri tentang kemampuan yang dimilikinya, dalam menetapkan kriteria
sampingan yang pada dasarnya masih bisa ditawar. Sebagaimana ungkapan
yang sering kita dengar,
“Apabila Anda tidak memiliki kualitas sebaik Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka jangan terlalu berangan tinggi bahwa Anda akan
mendapat istri seperti ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Bilamana Anda bukan
seperti ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, maka jangan terlalu bermimpi
mendapatkan wanita sebagaimana Fathimah radhiyallahu ‘anha.”
Ungkapan permisalan ini memang tidak bisa dibawa secara paten, karena
bisa saja seorang yang berkualitas, namun mendapat pasangan yang kurang
sederajat dari segi kualitasnya. Akan tetapi, sekali lagi ungkapan
tersebut hanyalah sebagai pendorong bagi seseorang untuk kembali pada
alam realita. Ungkapan ini juga berguna sebagai kontrol agar seseorang
hendaknya berusaha menyadari kemampuan yang dia miliki, sehingga dia
tidak lagi hanyut dalam alam mimpinya untuk mendapatkan pasangan yang
serba “wow”.
Maka patut Anda pertanyakan dalam diri Anda, “Apakah Anda
memiliki kualitas bak lelaki penghuni surga yang tanpa cela, hingga Anda
mengidamkan pasangan semisal bidadari yang sempurna tiada bandingnya?”
Fenomena di atas hanya secuil gambaran onak yang bertaburan di jalan
pra nikah. Ada lagi kisah calon pengantin yang didera perasaan minder
dan sebagainya hingga berkecamuklah gejolak di hatinya,
– “Saya belum bekerja”… “Saya hanya seorang…”…”Gaji saya cuma
pas – pasan”…”Dia dari keluarga berada sedangkan saya dari keluarga
biasa saja.”
– “Saya belum bisa mengaji…ilmu saya masih sedikit…belum bisa ini…belum bisa itu…”
– “Saya biasa saja, sedangkan calon saya itu terlalu cantik/tampan…saya merasa tidak sebanding dengan dia.” dan lain sebagainya.
– “Saya biasa saja, sedangkan calon saya itu terlalu cantik/tampan…saya merasa tidak sebanding dengan dia.” dan lain sebagainya.
Hati ini merasa miris melihat realita yang terbentang di hadapan mata, manakala banyak orang yang terjangkit sindrom “pilu sendu mengharu biru”
pra nikah, karena faktor internal maupun eksternal. Oleh sebab itu,
kami ingin menyampaikan beberapa ulasan yang mungkin berguna bagi
penderita sindrom tersebut.
1. Mengikhlaskan niat
Niat merupakan titik awal dilakukannya suatu perbuatan. Lurus atau
tidaknya niat pada stase awal pernikahan sangat berpengaruh pada kokoh
atau tidaknya bangunan rumah tangga. Bangunan pernikahan tipe “SAMARA”
perlu pondasi niat lurus yang kokoh, pilar-pilar keikhlasan agar selalu
tegar dan tegak berdiri, tembok dari ketakwaan yang dapat
membentenginya dari serbuan hawa nafsu, dan puncak atap yang tersusun
dari keinginan bertemu wajahNya di surga Al-Firdaus Al-A’la.
Dengan memahami hakikat inti pernikahan, tiap individu hendaknya mencoba bertanya pada diri sendiri, kemudian menjawab dengan hati nurani :
Dengan memahami hakikat inti pernikahan, tiap individu hendaknya mencoba bertanya pada diri sendiri, kemudian menjawab dengan hati nurani :
a. Apa sebenarnya tujuan pokok saya menikah? Apa hanya semata – mata
memuaskan hasrat kodrati yang manusiawi? atau melaksanakan sunnah? atau
dalam rangka menjaga kemaluan dan pandangan…atau dibumbui beragam
tendensi duniawi lainnya?
Tentunya akan didapat berbagai macam versi jawaban sesuai dengan
individu itu sendiri, namun jawaban yang paling hakiki akan bermuara
pada satu kalimat pungkasan “menggapai ridha ilahi sebagai salah satu usaha menuju kenikmatan surgawi nan abadi, melalui ikatan pernikahan yang suci”.
Pada jawaban ini terkandung manifestasi dari tujuan diciptakannya
manusia di muka bumi, yakni untuk beribadah kepadaNya. Oleh karena itu,
dalam pelaksanaan segala amalan yang kita kerjakan tentulah akan
berpulang pada tujuan awal ini.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
(Qs. Adz-Dzariat: 56)
(Qs. Adz-Dzariat: 56)
b. Apakah langkah yang harus saya tempuh untuk meraih tujuan yang
paling tinggi dari pernikahan itu sendiri? Apa harus benar – benar
mendapat pasangan yang kaya terlebih dahulu, atau yang semata karena
punya keelokan rupa, atau dari keluarga berada..atau..dan atau.. Andai
seseorang berlomba-lomba menetapkan kriteria tinggi guna kepentingan
ukhrawi tidaklah mengapa, namun jika berlomba-lomba kriteria duniawi
yang tinggi…maka itulah sumber awal masalahnya.
Saudaraku, apa karena istri Anda kurang cantik, atau tidak sempurna
dalam pandangan Anda…lantas Anda menelantarkan dan ingin meninggalkannya
karena sukar mencintainya?
Saudariku…apakah karena suami Anda kurang kaya dan punya beragam
cela…maka Anda sulit menghargainya? Lalu untuk apa sebenarnya cita-cita
klimaks dan tujuan inti Anda menikah ya Akhi alhabib dan Ukhti alhabibah? Yakni untuk bertemu wajahNya di surga, karena kita berharap surga menjadi tempat hunian yang kekal setelah kematian kita.
2. Mempersiapkan diri dengan ilmu
Ketika sauh bahtera dua jiwa diangkat, bahtera pun mulai berlayar
dari dermaga cinta mengarungi samudera rumah tangga menuju tempat akhir
yang penuh bahagia. Dalam perjalanan jauh yang harus ditempuh bahtera,
pasti seringkali dijumpai berbagai rintangan problematika yang datang
silih berganti, sehingga diperlukan bekal ilmu yang cukup untuk
menghadapi problematika ini. Ada banyak disiplin ilmu sebelum nikah yang
harus dipelajari. Maka pelajarilah ilmu wajib yang memang harus
dikuasai masing-masing individu (seperti tauhid dan fiqh amal
sehari-hari) dan ilmu yang paling urgent dipelajari terlebih dahulu
untuk masuk ke gerbang pernikahan. Adapun disiplin ilmu yang lain dapat
dipelajari seiring waktu berjalan, Insya Allah.
Artinya, tiap individu menetapkan skala prioritas tentang apa sajakah ilmu yang mendesak untuk dipelajari terlebih dahulu sehubungan dengan kondisinya yang akan menapaki tangga pelaminan. Contoh ilmu yang urgent dipelajari sebelum pernikahan: belajar tentang bagaimanakah tata cara pernikahan yang syar’i dan seluk beluk hukum pernikahan beserta adab malam pertama, mempelajari hak dan kewajiban suami istri beserta pernak – perniknya, dsb. Baik juga kiranya untuk berdiskusi dan menimba ilmu rumah tangga dari berbagai pihak yang sudah makan banyak asam garam dalam mengayuh biduk rumah tangga.
Artinya, tiap individu menetapkan skala prioritas tentang apa sajakah ilmu yang mendesak untuk dipelajari terlebih dahulu sehubungan dengan kondisinya yang akan menapaki tangga pelaminan. Contoh ilmu yang urgent dipelajari sebelum pernikahan: belajar tentang bagaimanakah tata cara pernikahan yang syar’i dan seluk beluk hukum pernikahan beserta adab malam pertama, mempelajari hak dan kewajiban suami istri beserta pernak – perniknya, dsb. Baik juga kiranya untuk berdiskusi dan menimba ilmu rumah tangga dari berbagai pihak yang sudah makan banyak asam garam dalam mengayuh biduk rumah tangga.
3. Mempersiapkan mental
Hidup ini sebagaimana digambarkan dalam sebuah adage (peribahasa) lama yang berbunyi:
“Hidup bukanlah sebagaimana ranjang yang bertabur bunga mawar.” [1]
Begitu juga dengan pernikahan yang dijalani pasutri. Artinya,
pernikahan tidak hanya bertabur dengan keindahan dan romantika cinta
saja. Akan jauh lebih baik jika tiap diri tidak berlarut-larut dalam
lamunan semu romantisme pernikahan belaka. Wajar jika akan ada saat suka
dan bahagia datang menyapa, dan akan tiba pula saat duka nestapa
melanda.
Jikalau goncangan demi goncangan hanya dihadapi dengan keluhan, sikap
lemah, dan jiwa yang rapuh…bukan solusi yang akan didapat, namun malah
petaka yang kian mendekat. Maka dari itu, sedari dini persiapkanlah diri
untuk bersikap tegar, teguh, tabah dan berpikirlah “dewasa”yang
dilandasi dengan ilmu agama ketika badai ujian menerpa bahtera rumah
tangga, meskipun terkadang hantaman realita begitu membuat jiwa terasa
menderita.
4. Membenahi diri dalam hal kualitas keshalihan
Pada dasarnya pembenahan diri mutlak dilakukan kapan saja dan di mana
saja. Akan tetapi, pada konteks bahasan kali ini, pembenahan diri yang
dimaksud adalah pembenahan diri sebelum menginjak pernikahan. Suatu
contoh wujud pembenahan diri, -dalam rangka usaha mendapatkan pasangan
idaman sesuai impian, jika mungkin yang shalih/shalihah lagi rupawan dan
“hartawan”- adalah mengupayakan peningkatan kualitas keimanan dan keshalihan diri kita sendiri.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan
laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan
wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki
yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)…” (Qs. An–Nur: 26)
Sebab ayat ini turun berkenaan dengan bantahan dari sisi Allah
mengenai tuduhan dusta atas perbuatan zina yang dilakukan oleh ‘Aisyah
dan Shafwan ibn Mu’aththal As-Sulami radhiyallahu ‘anhuma, yang terkenal dengan peristiwa “Al-Ifk”.
Allah berkehendak untuk menyucikan dan membersihkan tuduhan tersebut dari ‘Aisyah dan Shafwan ibn Mu’aththal As-Sulami radhiyallahu ‘anhuma, bahwa mereka berdua tidaklah berzina sebagaimana yang dituduhkan. Oleh karena itu, mayoritas ahli tafsir menafsirkan kata Al-Khabits dan Ath-Thayyib lebih mencakup pada baik dan buruknya perkataan. Akan tetapi, di dalam Kitab Zadul Masir, ditafsirkan bahwa yang dimaksud Al-Khabits dan Ath-Thayyib bukan hanya mencakup orang yang memiliki kebaikan atau keburukan dalam perkataan saja, tapi juga mencakup sisi amal perbuatan.
والرابع: الخبيثات من الأعمال للخبيثين من الناس، والخبيثون من الناس للخبيثات من الأعمال…. وكذلك الطيبات…..
“….Keempat: wanita-wanita yang berbuat keji diperuntukkan bagi
para lelaki yang berbuat keji, dan laki-laki yang melakukan perbuatan
keji pun diperuntukkan bagi wanita-wanita yang berbuat keji pula. Begitu
juga dengan wanita-wanita yang beramal baik (maka wanita-wanita yang beramal baik ini diperuntukkan bagi para lelaki yang beramal baik dan sebaliknya -pen )…” (Zadul Masir)
Kadangkala timbul persepsi sebagian orang mengenai kelaziman
(konsekuensi) mutlak Qs. An–Nur: 26, bahwa jikalau kita beranggapan
bahwa diri kita belum begitu baik, maka jodoh kita tidak akan begitu
jauh kualitas agamanya dengan diri kita, minimal setingkat dan semisal
dengan kita dalam level kualitas agama.
Di satu sisi kita sadar diri bahwa kita masih sangat kurang tingkat
keshalihannya, namun di sisi lain kita juga menginginkan pasangan yang
kadar takwa, keshalihan, dan ilmunya dianggap jauh lebih tinggi dari
kita. Berpatokan dengan kondisi tersebut, kita merasa tidak mungkin dan
seolah-olah mustahil untuk mendapatkan pasangan yang berkualitas seperti
mereka…ibarat si cebol yang merindukan bulan. Apakah mutlak selalu
demikian keadaannya? Kalau memang benar kita bisa mendapatkan pasangan
yang dianggap bermutu tinggi, seringkali justru kita yang merasa tidak
sepadan dan kurang pantas bersanding dengan orang seperti itu, karena
terjadi ketimpangan dalam kadar keshalihan.
1. Andaikata perkaranya berhenti pada pilihan kata “mungkin” atau “tidak mungkin” Al-Khabitsah mendapatkan Ath-Thayyib dan sebaliknya, maka jawabnya adalah mungkin. Ayat tersebut hanya menekankan perkara hukum yang bersifat mendasar, yakni bersifat aghlabiyyah (sebagian besar/mayoritas) dan aulawiyyah
(lebih-lebih). Akan tetapi, dalam ayat tersebut tidak terkandung makna
yang mutlak bahwa seseorang yang shalih pasti akan mendapat pasangan
yang sekufu (sederajat) juga dalam tingkat keshalihannya. Bisa saja
terjadi pengecualian dari kaidah dasar tersebut jika memang Allah
menghendaki dengan segala keadilan, kehendak, kuasa dan hikmah yang
Allah miliki. (Silahkan temukan contoh nyatanya yang diabadikan dalam
Al-Qur’an, bahwa bisa saja Al-Khabits mendapatkan Ath-Thayyibah dan
Ath-Thayyib mendapatkan Al-Khabitsah pada point ke-7)
2. Subhanallah, begitu mengherankan tatkala mendapati orang
yang perasaannya “menolak” dengan halus datangnya kebaikan bagi dirinya
lewat perantara keshalihan pasangan. Manusia memang diberi perasaan
tingkat tinggi untuk melengkapi kinerja akal, sehubungan dengan
kedudukannya sebagai khalifah di muka bumi. Akan tetapi, bukan hal yang
baik dan bijak jika tiap kejadian hanya dipahami dan dihukumi melalui
perspektif perasaan saja.
Duhai jiwa, sesungguhnya Allah memberi petunjuk pada siapapun yang
Dia kehendaki, dan lewat jalan yang Dia kehendaki pula. Alih-alih larut
dalam perasaan minder “tidak level“, bukankah sebaiknya langkah
pertama yang kita ambil adalah bersyukur dan berbahagia? Tidak semua
orang bisa mendapat anugrah seperti itu, kita justru yang sudah
meraihnya malah menyia-nyiakannya.
Langkah kedua, buka pikiran positif dan cerna baik-baik hikmah yang
terkandung dalam peristiwa itu, karena mungkin Allah berkehendak membuat
diri kita yang sekarang jauh lebih baik dari kita yang dahulu melalui
perantara pasangan kita. Maka bergegaslah untuk menyongsong anugrah
tersebut dan segeralah menyamakan level! Bukan hanya untuk mendapatkan
pengakuan manusia karena malu tidak selevel, namun karena mengharap
bertemu wajahNya di surga (baca: merubah diri yang didasari ikhlas
karena Allah semata, bukan karena mendahulukan ridha manusia).
5. Melengkapi bekal yang lain sebelum menikah
Ketika kita mendengar kalimat “perbanyaklah bekal sebelum menikah”,
mungkin yang akan terbayang di benak kita adalah bekal berupa
pundi-pundi harta. Ini bukanlah bekal tambahan hakiki untuk menghadapi
pernikahan, meskipun tidak bisa dielakkan bahwa materi itu juga penting
sebagai salah satu bekal dasar menuju pernikahan. Manakala ilmu tentang
kehidupan rumah tangga sudah dipelajari sebagai bekal, maka bekal lain
yang sangat penting dimiliki oleh calon pasangan pengantin adalah bekal ketakwaan.
Bekal ketakwaan ini bukan saja khusus ditujukan bagi yang sedang
mempersiapkan mahligai rumah tangga, namun memang harus dimiliki oleh
setiap muslim dan muslimah siapapun dia, kapanpun jua, dan di manapun ia
berada.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا (70) يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ
فَوْزًا عَظِيمًا (71)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu
amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa
mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat
kemenangan yang besar.” (Qs. Al-Ahzab: 70-71)
وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي
الْأَلْبَابِ
“…Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah
mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah
takwa dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.” (Qs. Al-Baqarah: 197)
Telah disinggung di ulasan sebelumnya, bahwa bangunan pernikahan bertipe “SAMARA” (Sakinah, Mawaddah wa Rahmah)
memerlukan dinding kokoh dari ketakwaan yang dapat membentengi hati
dari serbuan hawa nafsu. Dengan adanya ketakwaan inilah, masing-masing
pasangan akan berusaha mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya tentang
hak, kewajiban, dan bagaimana adab berinteraksi dengan pasangan.
Ketakwaan ini pulalah yang sanggup mengendalikan diri dari hawa nafsu
yang buruk, yang bisa menghancurkan diri, rumah tangga, bahkan agama.
6. Memperbanyak doa
Tidak ada seorang muslim yang berakal dan baligh di dunia ini yang
tidak pernah memanjatkan doa. Ini suatu bukti bahwa kita senantiasa
membutuhkanNya. Doa juga merupakan wujud penghambaan dan perendahan diri
kita terhadap Yang Maha Kuasa. Siapakah orangnya yang akan meragukan
dahsyatnya kekuatan yang terkandung dalam doa? Untuk itulah kita harus
senantiasa menundukkan diri kita dengan terus menerus memohon dan berdoa
tanpa putus asa, dengan memenuhi segala adab berdoa[2], agar:
• Mendapat pasangan shalih/shalihah untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.
• Terhindar dari perasaan sedih, rasa gundah, khawatir akan masa depan. [silahkan baca lebih lengkap di artikel Untukmu…Yang Dirundung Rindu dan Sendu (Bag.1)]
• Doa agar dikaruniai pasangan yang TERBAIK bagi diri kita, bukan hanya terbaik menurut kita, karena hanya Allah semata yang paling tahu segala sesuatu yang paling baik bagi hambaNya.
• Terhindar dari perasaan sedih, rasa gundah, khawatir akan masa depan. [silahkan baca lebih lengkap di artikel Untukmu…Yang Dirundung Rindu dan Sendu (Bag.1)]
• Doa agar dikaruniai pasangan yang TERBAIK bagi diri kita, bukan hanya terbaik menurut kita, karena hanya Allah semata yang paling tahu segala sesuatu yang paling baik bagi hambaNya.
Doa agar mendapat kemudahan dalam segala urusan, khususnya urusan jodoh
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَللَّهُمَّ لا سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَ أَنْتَ تَجْعَلُ الْحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً
“Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali apa yang Engkau jadikan
mudah. Dan apabila Engkau berkehendak, Engkau akan menjadikan kesusahan
menjadi kemudahan.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya no. 2427, Ibnu Sunni dalam Amal Al-Yaum wa Al-Lailah no. 351, Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashfahan: 2/305, Imam Al-Ashbahani dalam At-Targhib: 1/131. Syaikh Al-Albani menilai shahih dalam Silsilah Shahihah dan mengatakan, “Isnadnya shahih sesuai syarat Muslim.”)
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan
Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri
dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (Qs. Ghafir: 60)
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ
أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي
وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya tentang Ku, maka jawablah
bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila ia memohon kepadaKu. Maka hendaklah mereka itu memenuhi segala
perintahKu dan hendaklah mereka beriman kepadaKu agar mereka memperoleh
kebenaran.” (Qs. Al-Baqarah: 186)
Di dalam kedua ayat di atas disebutkan bahwa Allah telah berjanji dan
menjamin akan mengabulkan doa hambaNya. JanjiNya bersifat mutlak,
karena Allah tidak akan pernah mengingkari janji yang telah dibuatNya.
Akan tetapi, janganlah kita lupa bahwa pengabulan itu memiliki syarat.
Pengabulan doa itu pun tentu menurut pilihanNya yang terbaik, bukan
menurut pilihan selera kita, pun pada waktu yang dikehendakiNya, bukan
menurut waktu yang kita kehendaki. Bukankah dalam ayat tersebut Allah
tidak berfirman dengan kata-kata, “menurut tuntutanmu, atau menurut waktu yang engkau kehendaki, atau menurut kehendakmu itu sendiri?”
Bisa jadi (dengan doa tersebut-red) Allah segera mengabulkannya, atau
bisa pula Allah menundanya bahkan hingga di akhirat, atau Allah
menghindarkan dia dari musibah yang akan menimpanya.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ
فِيهَا إِثْمٌ وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا
إِحْدَى ثَلَاثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ
يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنْ
السُّوءِ مِثْلَهَا قَالُوا: إِذًا نُكْثِرُ، قَالَ: «اللَّهُ أَكْثَرُ»
Dari Abu Sa’id (Al-Khudri pen) radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah
seorang muslim yang berdoa dengan doa yang tidak mengandung dosa dan
tidak untuk memutus tali kekeluargaan, kecuali Allah akan memberinya
tiga kemungkinan: Doanya akan segera dikabulkan, atau akan ditunda
sampai di akhirat, atau ia akan dijauhkan dari keburukan yang semisal.
Lalu mereka berkata, “kalau begitu kita seyogyanya banyak berdoa
(meminta).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Allah akan
memberi lebih banyak (dari yang diminta hambaNya pen)” (HR. Ahmad no.11133) [3]
Ketika Allah ternyata menunda terkabulnya doa, atau bahkan Allah
menetapkan sesuatu yang berbeda dari tuntutan doa kita, itu bukan
berarti Allah melanggar janjiNya untuk mengabulkan doa. Kita pun tidak
perlu kecewa hanya karena Allah menunda atau malah mengganti permintaan
yang ada dalam untaian doa kita dengan ketetapanNya yang lain, karena Allah lah yang tahu hal terbaik untuk kita, beserta mashlahat dan madharatnya jika doa yang kita panjatkan itu terkabul.
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ
وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu,
dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk
bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 216)
Banyak sebab mengapa doa itu belum jua dikabulkan. Salah satunya
karena belum menempuh segala adab yang benar dalam berdoa, kita masih
lalai dalam melaksanakan perintahNya dan masih bermudah-mudahan dalam
berbuat dosa, kita masih memakan harta dari jalan yang haram, kita belum
betul-betul “menghinakan diri” dalam memanjatkan doa, atau
kita malah berputus asa dalam berdoa. Berbicara tentang keputusasaan
dalam berdoa, perkara ini banyak terjadi di sebagian kaum muslimin
bahkan dari kalangan penuntut ilmu sekalipun. Mereka terlalu
tergesa-gesa dalam berdoa. Sesekali waktu doa belum terkabulkan, mereka “ngambek” dan putus asa untuk berdoa lagi…lagi…dan lagi.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ
يَعْجَلْ، يَقُولُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Doa
salah seorang dari kalian akan dikabulkan selagi dia tidak
terburu-buru, yaitu dengan berkata, “Aku sudah memanjatkan doa namun
belum juga dikabulkan bagiku.””(HR. Bukhari no.6340)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : لاَ يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ ،
مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ ، أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ ، مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ
قِيلَ : يَا رَسُولَ اللهِ ، مَا الاِسْتِعْجَالُ ؟ قَالَ : يَقُولُ :
قَدْ دَعَوْتُ وَقَدْ دَعَوْتُ ، فَلَمْ أَرَ يَسْتَجِيبُ لِي ،
فَيَسْتَحْسِرُ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Doa
seorang hamba senantiasa dikabulkan selagi dia tidak berdoa untuk suatu
perbuatan dosa atau untuk memutuskan hubungan persaudaraan, asalkan dia
tidak tergesa-gesa.” Ada yang bertanya,” Wahai Rasulullah, apa yang
dimaksud dengan tergesa-gesa?” Beliau menjawab, “Dia berkata, “Aku sudah
memanjatkan doa dan aku sudah memanjatkan doa lagi, namun belum kulihat
doaku dikabulkan. “ Lalu dia merasa letih saat itu dan meninggalkan
doa.” (HR.Muslim no.7036)
Muslimah.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar